Aku sadar, aku selalu sadar. Semua ini sebuah kesalahan akibat salah pilihan. Aku pikir aku bisa hidup dengan penuh kenyamanan, bisa bertahan hidup tanpa menjadi seperti kebanyakan orang, bisa menyenangkan banyak orang dengan hasil dari hal-hal yang aku sukai, bisa menjadi diri sendiri tanpa ada seorang pun ikut campur tentang jalan hidup yang kuambil. Berjalan tanpa beban, bekerja tanpa beban, mencinta tanpa beban, dicinta tanpa beban. Sempat terbayang, bisa membuka jendela kamar kala sinar surya menyelip manja di celah-celah kain penutup kaca, melihat burung-burung nuri yang mengajari anak-anaknya bernyanyi di pohon mangga halaman rumah, menghirup udara segar dan melihat para tetangga meyapaku dengan penuh rasa suka.
Dan pada akhirnya aku sadar bahwa semua itu hanyalah halusinasi belaka, ketika melihat istri dan anakku kompak menangis bersama-sama di depanku, di dalam ruangan sebuah rumah sakit swasta, memikirkan biaya dan bagaimana cara membawaku kembali pulang ke rumah, pulang ke rumah kontrakan yang belum aku bayar selama beberapa bulan, begitu juga dengan hutang kepada Bu Laras, pemilik kontrakan yang entah sampai kapan bisa terus berbaik hati kepada keluargaku.
Cahaya dari jendela mulai meredup. Lampu neon yang menempel di eternit pun menyala otomatis. Tetesan hujan pertama menempel di jendela kamar rumah sakit, dan diikuti tetesan-tetesan berikutnya dengan sangat deras. Serasa alam pun ikut bersedih saat melihat kondisiku. Tak terasa, air mataku pun ikut menyembul, menyusul tangisan alam, istri dan anakku. Tak seharusnya aku menyusahkan semua. Dan, aku menanam tekad sangat dalam. Aku harus berubah!
“Dik?” panggilku pelan.
Tak ada jawaban. Terlihat Andin masih sibuk menenangkan Ririn yang tak henti-hentinya menangis karena mendengar suara petir di luar kamar. Kucoba bangkit dari tempat tidur, seraya meremas kasur karena tubuhku terasa sangat berat. Terus kucoba dan malah jatuh yang kudapat.
“Suster! Tolong Suster!” teriak Andin, setelah melihatku jatuh dari tempat tidur.
Tak butuh waktu lama, masuklah seorang wanita berpakaian putih rapi dengan berlari ke arahku. Mengangkat lenganku dengan telaten dan membantuku kembali berbaring di tempat semula.
“Bapak yang tenang ya? Kaki kanan dan beberapa tulang rusuk Bapak patah, jadi lebih baik istirahat dulu.”
Ternyata rasa berat ketika ingin kugerakkan tubuhku berasal dari patahnya beberapa tulangku.
“Apa, Sus? Patah?! Tapi bagaimana bisa?!” tanyaku terkejut.
“Saya pun sebenarnya tidak percaya, Bapak masih bisa bertahan setelah mengalami kecelakaan mengerikan empat hari yang lalu,” sahut suster dengan wajah sayu. “Untuk saat ini, Bapak lebih baik istirahat dulu ya?” lanjutnya.
Walau dikata patah tulang, namun aku tak merasakan rasa sakit apa pun. Mungkin pihak rumah sakit memberikanku obat bius yang sangat mujarab, dan pastinya semua itu tidaklah murah. Tak salah jika Andin terus menangis, pastinya dia juga memikirkan tentang banyaknya digit nol di daftar rincian biaya perawatanku.
Semakin deras hujan di luar kamar, semakin deras juga air mataku yang keluar.
“Dik? Maafin Mas ya?” ucapku pelan.
Andin pun mendekatiku dan mengelus rambut kusutku.
“Sudah, Mas. Jangan menangis. Kita pasti bisa temukan jalan keluar. Kita sudah biasa hidup susah. Walau kali ini kurasa kita mencapai titik paling parah, tapi aku percaya, Tuhan tidak tidur, kita pasti akan lulus ujian ini dengan nilai baik. Kita harus percaya itu, Mas. Cuma itu yang kita bisa, tabah dan terima,” bisik Andin, istriku, yang matanya tampak memerah akibat kurang tidur ketika menungguiku di rumah sakit.
Benar. Apa yang dikatakan istriku adalah jalan keluar yang sangat benar, satu-satunya pilihan dan memang seharusnya begitu, menyadari bahwa diri bukanlah siapa-siapa yang bisa menentukan jalan cerita. Berserah diri adalah jalan terbaik.
“Cklek...”
Terdengar bunyi gagang pintu yang digerakkan, membuat pintu terbuka dan memunculkan seorang pria yang tidak aku duga. Doni, teman yang bahkan sahabat terdekat sepanjang hidupku.
“Ndu?! Inikah kau?” tanya Doni bingung, kala melihat banyaknya lilitan perban di tubuhku, yang salah satunya juga membungkus kepalaku.
Aku terkejut, “Doni? Bagaimana Kau bisa ke sini?”
“Aku kemarin mencari barang yang ketinggalan di rumah lamaku. Lalu aku bertemu Pak Mul, katanya Kau mencariku? Dan, aku pun mengunjungi rumah Kau. Aku bertemu dengan ibu-ibu yang sedang menyapu depan rumah Kau, katanya Kau sudah tidak pulang beberapa hari, setelah Kau tertabrak mobil di jalan besar depan rumah Kau. Aku pun langsung ke sini, rumah sakit terdekat dari rumah Kau. Kau tak apa kan?!”
Sudah dua tahun aku tidak berjumpa dengan sahabat terbaikku ini, tepat setelah aku keluar dari pabrik plastiknya. Dia terlihat lebih gagah, dengan jas hitam yang melekat di tubuhnya. Tak kusangka, aku pernah berpaling dari tempat kerja milik seseorang yang benar-benar memedulikanku.
“Maaf, aku nggak bawa apa-apa, Ndin. Mendengar kabar ini sangat membuat pikiranku tak tenang, makannya aku langsung buru-buru datang ke sini,” ucap Doni kepada saudara sepupunya, Andin.
Andin hanya mengangguk tanpa kata. Matanya masih memerah dan berkaca, walau Ririn sudah terlihat lelap di gendongannya, mungkin karena sangat merasa lelah akibat menangis.
“Udah, Don. Dengan kamu datang saja itu sudah sangat membuat kami berterima kasih,” sahutku, mewakili diamnya Andin.
“Syukurlah, Kau masih hidup Ndu! Hehe...,” canda Doni dengan senyum tipis. “Lalu, ada apa Kau kemarin mencariku Ndu?!” tanya Doni dengan mengerutkan dahi.
Aku pun menjelaskan semuanya. Doni tak keberatan meminjamiku uang dengan harga potongan gajiku saat aku kembali bekerja lagi di pabriknya nanti seusai sembuh. Setelah sekian lama, aku kembali melihat binaran indah di senyuman Andin. Aku sadar, inilah sesuatu yang aku cari selama ini. Yakni kebahagiaan dari orang-orang yang menyayangiku, bukan kebahagiaan yang aku cari sendiri, yang malah mengorbankan orang-orang peduli di sekitarku.
***
"Akhirnya kita pulang, Mas!" ucap Andin, sembari menemaniku berjalan pelan, yang masih kesusahan menggunakan kruk. "Nih, Mas. Ririn juga kelihatannya senang banget. Ketawa-ketawa terus dari tadi. Hihihi...," lanjutnya penuh bahagia.
Setelah beberapa minggu, akhirnya aku pulang, bersama keluarga kecilku dan juga sedikit sisa uang dari pinjaman Doni. Berjalan pelan sembari melihat tawa anakku, yang sangat girang akibat candaan dari istri dunia akhiratku. Sungguh, ini nikmat tiada tara, kebahagiaan-kebahagiaan kecil yang selalu aku abaikan, yang kini kusadari sangat mahal harganya seusai banyak cobaan yang pernah kulalui.
"Eh, Mas? Rumah kita kok terbuka ya? Seingatku, beberapa minggu yang lalu aku sudah kunci rapat-rapat," sela istriku yang menjeda sedikit rasa bahagiaku.
"Apa mungkin Bu Laras sedang bersih-bersih karena sudah lama tidak kamu bersihkan?" tebakku spontan.
"Emm... bisa jadi sih, Mas," jawab istriku dengan anggukan pelan.
Terlihat seorang bocah berkepala plontos berlari sambil tertawa, keluar dari pintu rumahku yang menganga.
"Rizal! Jangan Kau main dulu, selesaikan tugas sekolahmu!" teriak seorang ibu-ibu dari dalam rumahku.
Istriku pun langsung cekatan mencegah bocah plontos itu yang hendak lari melintasi kami.
"Eh, Dik. Sebentar, Tante mau tanya."
"Tanya apa, Tante?!"
"Kok Adik lari dari rumah itu? Memangnya itu rumah siapa?" tanya Andin dengan penuh kelembutan.
"Ya rumahku lah! Rumah baruku, rumah yang sangat sempit dan nggak layak huni!" jawab bocah plontos itu tak sopan, dan langsung berlari pergi menjauh dari kami.
~ TAMAT ~