Di gang-gang sempit kota yang aroma aspalnya bercampur anyir sampah, hiduplah seorang pria bernama Fatah. Namun, jangan pernah memanggilnya Fatah jika kamu tak ingin rahangmu patah. Panggil saja Patoy, sebuah julukan yang konon berasal dari akronim “Fatah Letoy,” karena gerakannya yang—harus diakui—cukup gemulai bak penari balet dadakan.
Patoy sendiri menganggap julukan itu sebagai penanda keunikan, bukti bahwa ia adalah preman yang berbeda, preman yang ternama. Dalam pikirannya yang sebatas tempurung kelapa, Patoy adalah raja hutan jalanan, seekor singa perkasa yang mamapu membuat nyali siapapun yang mendengar namanya ciut.
Padahal, di mata preman-preman lain yang jauh lebih garang dan banyak tato, Patoy hanyalah bunglon. Seekor bunglon yang kerap dijadikan bahan ejekan dan lelucon. Kadang dipaksa mengambilkan sandal jepit bosnya atau membelikan kopi saset di warung ujung gang. Namun, Patoy bergeming, aku adalah Patoy, preman terkeren se-kolong jembatan.
Siang itu, hari Kamis, sebuah siang yang dipercaya sakral, ia ditugaskan untuk melakukan ritual kuno para preman: memalak tukang parkir. Misi yang baginya sesederhana mengibas nyamuk. Ia melangkah penuh gaya—cukup gemulai—menuju titik parkir di depan minimarket.
Entah mengapa, semesta seperti berkonspirasi. Tukang parkir yang biasa ia palak sedang sakit gigi, digantikan oleh seorang pria berbadan tambun, berjanggut lebat, dan bertampang lebih galak dari sersan militer di perbatasan.
“Mana setoranmu, Le?” Patoy bersuara, mencoba memasang wajah sangar yang baginya sudah paling mendekati topeng iblis.
Tukang parkir baru itu mendongak, matanya menyala. “Setoran apa? Bapak preman mana?”
Patoy terperanjat. Le? Apa aku tidak salah dengar? Ucapan itu seharusnya ia yang lontarkan.
“Aku Patoy! Preman sini! Jangan belaga bloon kau! Mau gue bikin lu semaput, hah?” Ia membusungkan dada, sembari memperlihatkan lengannya yang berisi otot-otot pas-pasan, namun baginya sudah sekeras beton K-300.
“Patoy? Apaan itu? Saya tukang parkir sini, bukan tukang pijat. Sana! Jangan bikin macet!” sang tukang parkir menjawab dengan nada yang tak terbantahkan.
Darah Patoy mendidih. Seumur hidupnya, belum pernah ada yang menolak “permintaan” dengan cara sesangar ini. Rasa terhina itu memicu amarahnya. Patoy melayangkan tinju kilatnya yang—sayangnya—selalu telat dan terlalu letoy.
Namun, sebelum tinjunya mencapai target, sebuah bogem mentah seberat tabung gas melon tiga kilo gram menghantam rahang kanannya.
BUAGH! Dunia Patoy mendadak berputar, warna-warni kembang api bermunculan di otaknya yang biasanya kosong. Ia terhuyung, oleng, dan ambruk seperti karung beras yang sudah usang, tepat di samping pot bunga toko.
Pingsan. Dari Dzuhur hingga Magrib, ia tergeletak di emper toko. Tak ada satu pun yang menolong. Bukan karena tak berhati, melainkan karena takut. “Jangan-jangan kasus pembunuhan!” bisik-bisik warga yang lewat. Sang tukang parkir tambun pun, karena ketakutan setengah mati melihat Patoy tak bergerak, langsung pensiun dari dunia parkir dan menghilang ditelan kabut malam. Meninggalkan Patoy sendirian di samping pot bunga.
Patoy terbangun. Langit sudah ungu kemerahan, azan Magrib berkumandang. Sekujur tubuhnya linu, tapi rahang kanannya—oh, rahang kanannya—terasa seperti ingin copot. Saat ia mencoba menggerakkannya, bunyi klek-klek terdengar nyaring, seolah ada mur dan baut yang lepas. Setiap langkah yang ia ayunkan, kepala Patoy terasa berputar, seolah ia sedang mengarungi lautan yang berguncang hebat.
Dalam kondisi yang mengenaskan itu, ia menyusuri jalan pulang. Lewat taman kota, ia melihat sepasang kekasih sedang dimabuk asmara. Tangan mereka bertautan, tawa mereka pecah, menyakitkan telinga Patoy yang sedang remuk redam.
Seketika, pikiran Patoy melayang. Kembali ke masa lalu, di mana ia pernah memiliki “cinta terindah” bernama Mawar. Seorang wanita yang wajahnya lugu tapi hatinya busuk. Mawar adalah pacarnya, tapi juga mata-matanya. Dia tidak hanya menguras uang hasil palak Patoy selama berbulan-bulan, Mawar juga selingkuh dengan preman lain, preman yang lebih muda dan—tentu saja—lebih garang. Hati Patoy ngilu teringat pengkhianatan itu.
Emosinya yang sudah tersulut oleh rasa sakit dan kenangan pahit itu kini membara hebat. Apa pemicunya? Wanita dari pasangan di taman itu memiliki tompel besar di bawah bibirnya. Persis seperti tompel di bibir Mawar. Ya Tuhan, takdir memang kejam. Wanita tompel ini pasti juga jelmaan iblis, seperti Mawar!
Tanpa pikir panjang, emosi Patoy melampaui logika. Matanya nanar menatap pria di samping wanita bertompel itu. Ini gilirannya. Ia akan melampiaskan seluruh dendam kesumat, seluruh sakit hati, seluruh kehinaan yang ia rasakan malam ini. Ia merogoh saku kanannya, menarik keluar sebuah belati kecil yang selalu ia bawa, peninggalan dari masa kejayaannya sebagai penjaga warnet.
Dengan gerakan dramatis, berbalut amarah yang menggelegak, Patoy mengangkat belatinya tinggi-tinggi. Ia menggeram, matanya menyipit penuh dendam. Belati itu berkilat di bawah cahaya rembulan, siap menancap. “Rasakan ini, dasar pengkhianat!” pekiknya dalam hati, membayangkan wajah pria itu tergantikan oleh wajah preman yang telah merenggut mantan pacarnya. Dengan seluruh sisa tenaga dan amarah yang meletup, ia menghujamkan belati itu ke arah punggung pria yang sedang asyik bercengkrama itu.
JLEB!
Suara itu. Bukan suara daging tertusuk, melainkan suara yang lebih ganjil. Belati Patoy menancap, bukan pada punggung pria itu, melainkan tepat pada batang pohon mangga yang menjulang di belakang punggung si pria. Getah mangga segar muncrat, mengenai wajah Patoy yang sudah lebam. Ternyata, karena rahangnya yang klek-klek, kepalanya yang pusing tujuh keliling, dan emosi yang meluap-luap, Patoy tidak bisa mengarahkan serangannya dengan benar. Ia hanya menancapkan belati kecilnya itu ke pohon mangga, seolah ingin membalas dendam kesumat pada dunia dengan menganiaya flora.
Pasangan itu, yang tadi asyik berpacaran, terlonjak kaget melihat Patoy berteriak tak jelas sambil menusuk-nusuk pohon mangga dengan wajah penuh dendam, mulutnya berbusa getah. Ketakutan melihat preman yang sudah ngaco, mereka langsung lari terbirit-birit mencari pos polisi.
Tidak lama kemudian, sirene polisi meraung. Patoy yang masih terhuyung, mengutuk tompel dan getah mangga, serta dendam kepada mantannya, tak menyadari bahaya. Ia masih sibuk menusuk-nusuk pohon mangga, menganggap pohon itu sebagai representasi Mawar yang tak bisa ia jangkau. Beberapa polisi dengan sigap menangkapnya.
Patoy didakwa dengan percobaan penganiayaan. Dengan bukti sebuah belati kecil yang menancap di pohon mangga. Dengan rahang yang klek-klek, ia digiring ke dalam sel.
Di balik jeruji besi, Patoy merenung. Dirinya, sang preman perkasa, Patoy si singa jalanan, harus meringkuk di sel karena dituduh menyerang pohon mangga. Dunia memang panggung sandiwara, pikirnya. Dan ia, sang Patoy, adalah badut tragis yang paling lucu.
~ asai, 2025
Latar belakang cerpen
Cerpen ini dibuat setelah membaca sebuah potongan berita yang muncul di beranda facebook, langsung saja muncul di dalam imajinasi tentang sebuah cerita yang sepertinya menarik nih! Langsung eksekusi saja ke dalam cerpen. Bisa dibilang "kisah nyata" ya bukan, karena cerita pendek ini walaupun pemantik inspirasinya dari kisah sungguhan, tapi penjabarannya tidak ada kaitannya dengan dunia nyata.
Tolong maafkan saya jika cerita ini ada kesamaan baik itu menyangkut nama, plot, latar, maupun alur cerita di kehidupan siapapun, karena memang tidak diciptakan untuk menyindir ataupun mengarah ke siapapun. Terimakasih :)