Mata di hari itu sudah mulai menyipit di ujung lembayung, seakan telah lelah dan ingin segera lelap di pelukan kesunyian malam. Angin sepoi mulai terasa mengelus-elus semua permukaan bumi. Sesekali mengelus permukaan mata para pekerja yang pulang dalam kelelahan di atas kendaraan pribadinya, menimbulkan perih sekejap yang justru menghadirkan rasa nyaman saat mata dipejamkan.
Sore itu pukul 18.59, bada Maghrib, menjelang Isya, dua jejaka nganggur sudah siap-siap nongkrong di pos ronda kampung, dengan seplastik tembakau kiloan dan satu pak kertas lintingan, berserta alat linting manual yang sudah terlihat usang karena tak pernah absen dipakai tiap hari.
“Gem, lo liat gak, logo angka HUT yang terbaru kek orang domblong kalau dimiringkan?”
“Hush! Kalau ngomong jangan ngawur!"
"Lah, kan emang! Udah viral di mana-mana itu, Gem! Gak tau juga tuh pakai uang rakyat yang mana lagi buat anggaran logonya. Pasti em-em-an!"
"Kata siapa, Mbel?! Jangan fitnah! Sampai sekarang belum ada info biaya pembuatan logo HUT berapaan. Ati-ati kalau ngomong!"
"Lah, kan sebelum-sebelumnya sampai ratusan juta. Ini pasti bakal lebih mahal lagi, won harga pajak aja melambung tinggi, kek kentutmu!"
Lukman, alias Gemblung dan Fikri, alias Mbelgedes, perjaka setengah tua ini selalu hadir memeriahkan pos ronda yang sudah muncul jaring laba-laba karena tak ada lagi yang mau meronda, atau sebatas duduk-duduk saling sapa antar warga selain Gemblung dan Mbelgedes.
Banyak warga lebih memilih sembunyi di dalam rumah, dengan dalih "besok pagi berangkat kerja pagi", sehingga tak berkenan untuk keluar, walau hanya untuk menghirup udara bebas.
Tiba-tiba Mbelgedes kepikiran sesuatu.
"Jika anggarannya dirahasiakan, bukankah kita seharusnya malah harus curiga? Biasanya kan kalau ada sesuatu yang disembuyikan, berarti ada suatu kejahatan yang dijaga?"
"Wah, makin-menjadi-jadi pikiran lo, Mbel! Hati-hati kalau ada tukang bakso lewat, bisa diciduk lo!"
"Siapa yang ngawur?! Lo ingat gak, saat lo selingkuh dari Winda, yang kata lo "mantan terindah"? Ingat bagaimana lo sembunyiin mati-matian tindakan lo agar gak ketahuan. Dari hapus chat WA, hapus foto di galery, janjian diem-diem sama Karin, sampai bohong kalau lagi ikut jambore padahal lo lagi ke hot..." ujar Mbelgedes yang tiba-tiba berhenti karena mulutnya disumpel seplastik tembakau bawaannya.
"Diem lo!" sentak Gemblung sambil melotot.
"Cuih, gila lo!" sahut Mbelgedes sambil meludah ke tanah sisi kanannya, karena ada sedikit remukan tembakau yang hinggap di bibirnya. "Kalau ada yang disembunyikan tuh pasti ada apa-apanya! Lagian anggaran pake duit rakyat, masa rakyat gak dikasih tahu?!"
Suara jangkrik mendominasi kesunyian malam yang terjadi tiba-tiba. Berbagai penyesalan kembali mengiang di kepala Gemblung, teringat sesosok wanita yang pernah ia hianati hanya karena nafsu duniawi. Hingga tiba-tiba matanya seperti melihat sesuatu yang sangat menggugah seleranya.
"Bagi mbakonya, Mbel." pinta Gemblung, sambil meraih sebungkus plastik transparan yang memperlihatkan aurat sang tembakau kiloan yang memesona.
Mbelgedes langsung menarik tembakau kiloannya dengan segera.
"Eits, enak aja! Modal dong! Kek pemerintah aja lo, gak keliatan kontribusinya tiba-tiba minta pajak!"
"Halah, satu lintingan aja plis? tanggal tua nih," pinta Gemblung sambil memaparkan wajah melasnya. "Jangan kek pemerintah juga dong Mbel, tutup mata untuk orang yang gak punya."
Mata Mbelgedes sedikit mendelik ke arah Gemblung, dan langsung menyodorkan tembakau kiloannya tanpa pikir panjang. Ia merasa sangat terhina jika disamakan dengan para pejabat, entah mental block apa yang sudah ia tanamkan di alam bawah sadarnya sehingga alergi dengan yang namanya "pejabat".
"Makasih banyak, Mbel. Lo emang malaikat yang..." ujar Gemblung yang belum rampung.
"Halah, kalau ada maunya aja lo njilat-njilat kek anjing pejabat mania."
Gemblung terlihat lihai kala melinting tembakau. Tangannya terlihat luwes dan ahli, tanpa cacat. Pembuatan rokok pun selesai dalam kurun waktu kurang dari satu menit, dengan mengoleskan beberapa nol koma mili liter air liurnya di ujung lintingannya agar lekat.
Tangan kirinya langsung merogoh kantong celana sebelah kanan, menyilang di depan selangkangannya untuk meraih korek api. Hal ini karena ia memiliki sebuah prinsip yang jarang orang umum miliki, yakni "walau gak modal, masa iya modal senyum doang? Itu mah buat ngedeketin tukang parkir!".
"Gem, lo tau gak belakangan ini negara kita takut ama bendera Wanpis?" celetuk Mbelgedes, sembari meniupkan asap putih dari dalam paru-parunya sedikit demi sedikit.
"Maksud lo bendera One Piece?! Mana ada, kurang kerjaan banget!"
"Lah, emang. Lagi viral juga tuh di Fesnuk. Pemerintah bilang, yang mengibarkan bendera Wanpis saat 17-an berarti makar."
"Eh, tapi kalau dipikir-pikir, pemerintah di film Wanpis juga geram to sama bendera bajak laut Topi Jerami?!"
"Ya iya lah, mereka kan memerangi pemerintah dunia yang berlaku gak adil," sahut Mbelgedes sambil kembali menyambung napas melalui rokok di jepitan jari telunjuk dan tengahnya. "Mereka sebut bendera Wanpis itu simbol pemerpecah bangsa, padahal kalau dipikir-pikir malah benderta partai yang sering memecah bangsa, yang membuat rakyat mengotak-ngotakkan dirinya seakan berada di pihak yang paling benar dan secara tidak sadar membuatnya membenci sesamanya yang tak separtai. Bendera topi jerami itu simbol dari perlawanan rakyat kecil, yang merindukan apa makna merdeka yang sebenarnya."
Gemblung mengangguk sambil menghisap rokok, tampak setuju, entah benar setuju atau cuma macak setuju supaya dapat rokok gratis. Mbelgedes merenungi ucapannya sambil mendangak, memandang gemerlap bintang yang sembunyi di balik awan abu-abu, bak mutiara yang kilaunya terpasung oleh lumpur busuk yang selalu mengaku sebagai pelindung.
"Mungkin mereka lupa tentang siapa yang biayain makan anak dan istrinya di rumah. Ia juga lupa darimana sumber dana yang diperoleh untuk napas dingin yang berhembus di ruangannya saat kita-kita ini bertelanjang dada di depan sepoi kipas angin yang sudah berdecit. Mungkin ia juga lupa dari mana asalnya, dan tak merasa diciptakan karena sudah melekat dengan apa yang ia rasa telah ciptakan, yakni aturan-aturan dan hukum-hukum fenomenalnya yang mencekik para pengasup dompet mereka," ujar Mbelgedes usai menghembuskan asap putih sambil menundukkan kepala.
Mbelgedes larut dalam perenungannya, sedangkan Gemblung sudah tak tampak di sekitarnya bersama tembakau kiloan bawaannya yang entah terbawa angin dan menclok ke mana.
Joe Azkha, 2025