Waktu turut menetes bersama air mata langit yang manabuh ritmis di atas genting rumahku. Walau terkadang juga acak. Mungkin ia bosan dengan sebuah kebiasaan? Berulang dan terus berulang, tak henti-hentinya ia jatuh bersama suhu dingin yang di beberapa waktu memerindingkanku. Namun bukan masalah, bahkan di situlah keistimewaannya, karena bisa menjadi pasangan yang klop dengan secangkir teh yang menggantung di jemariku.
Tak selalu tentang kopi, karena ada kalanya si pahit akan terjeda sementara demi keadilan si manis. Walau kopi sebenarnya juga bisa manis saat berjumpa dengan gula, tapi aku tak tega merusak kesempurnaannya akibat dijajah tragis oleh si manis.
Seperti sebuah negara, teh juga memiliki kebhinekaannya sendiri. Terbeda dari jenis, ditanam di tempat mana, cara pengolahan, hingga cara penyeduhan, semua itu demi menciptakan sebuah kesempurnaan bagi penyeleranya. Seperti yang ada di cangkir putihku, teh hitam dari Wonosobo. Aku merasa berjodoh dengannya, dengan segala keadaannya, dengan segala keapaadaannya. Hmm... Tak tega ku habiskan dengan sekali tenggak.
Duduk, sendiri di kursi teras dengan secangkir teh ternyata tak buruk juga. Apalagi dengan hiburan hujan yang selalu riang dengan tarian khasnya, membuat suasana menjadi riuh tapi romantis.
Setiap sruputan merangsang ingatanku untuk melaju ke masa lalu. Ya, ada suka maupun duka, tapi aku menikmatinya sebagai cerita lama dan menganggapnya sebagai pengalaman yang luar biasa.
Tak melulu tentang cinta, ada juga tentang luka, luka yang berasal dari terlalu mempercayai diri sendiri, yang endingnya selalu menyadarkanku bahwa telah mengenyampingkan dan menyiakan orang-orang tulus di sekitarku.
Masa silam, memang selalu menyulam dengan selam di dalam kenangan. Tak henti-hentinya ia diupdate dengan kenangan-kenangan baru yang kembali menjadi lalu seiring berjalannya waktu. Seperti yang kulakukan sekarang, bibirku bercinta dengan teh, sedang mataku berselingkuh dengan hujan, yang akan menjadi kenangan di satu detik kemudian. Eh, bahkan sebelum satu detik, mungkin setengah detik? Seperempat detik? Seperdelapan? Seperseratus? Seperseribu? Seper-per-per-per—sepertinya tehku sudah dingin. Tak terasa, semua kehangatan yang bergelut mesra dengan yang manis-manis sudah menjelma menjadi kenangan. Aih... Dasar waktu, selalu ganas menelanku.
***
Filosofi Teh
Joe Azkha
2021