Ternyata Bukan Teman: Cerpen Kehidupan

Sebuah cerpen yang mengingatkan kita bahwa untuk tetap berbuat baik walau tidak dibaikin orang lain
anaksenja.com - gambar foto ilustrasi cerpen ternyata bukan teman, seorang wanita sedang bersedih memegang rambut kepalanya di koridor rumah sakit

Di sudut kota yang tak pernah tidur, di antara riuh rendah adukan mesin dan aroma harum tepung yang dipanggang, menyisipkan seorang wanita berparas teduh yang gemar tersenyum. Ayu Ningtyas, atau kerap dipanggil Ayu.

Namanya sesederhana senyumnya, yang selalu tersungging manis di bibirnya, seolah hidup ini adalah sepotong roti manis yang tak pernah pahit. Ayu, bukan berasal dari keluarga berada. Rumahnya sederhana, berisi cinta dan kesibukan, jauh dari kemewahan seperti yang dipertontonkan di televisi. Ia adalah buruh pabrik roti, pekerja keras yang tak pernah mengeluh, bahkan saat jam kerjanya berlebihan atau tangannya melepuh akibat panas oven.

Hati Ayu adalah ladang yang selalu subur. Di sana, ia menanam kebaikan, menyiramnya dengan ketulusan, dan merawatnya dengan keyakinan teguh pada pepatah neneknya, "Orang yang baik pasti akan mendapat kebaikan di manapun."

Pepatah itu, baginya, adalah kompas hidup, bintang penuntun yang tak pernah redup. Setiap pagi, sebelum mentari menyapa sepenuhnya, ia sudah sibuk di dapur mungilnya, menyiapkan bekal seadanya untuk dirinya dan adik laki-lakinya, Rio, yang masih sekolah. Senyumnya selalu menjadi penghangat rumah yang terkadang terasa dingin oleh terpaan angin kota.

Di pabrik roti, Ayu adalah malaikat penolong. Jika ada rekan kerja yang sakit dan butuh pengganti shift mendadak, Ayu akan selalu menjadi yang pertama menawarkan diri, "Sudah, biar aku saja. Kamu jaga anakmu, ya." Jika ada yang kesulitan mengangkat karung tepung, tangannya yang mungil akan sigap membantu. Ia tak pernah menolak jika ada yang ingin bercerita tentang masalah pribadi, bahkan tak jarang ia menyelipkan beberapa lembar uang dari gajinya yang pas-pasan untuk sekadar membantu. “Nanti kembalikan kalau sudah ada ya,” katanya, seringkali tak berharap uang itu kembali.

Semua rekan kerjanya mengenalnya. Dari lantai produksi hingga manajer gudang, semua tahu senyum ramah dan kebaikan hatinya. Ia merasa memiliki banyak teman, kenalannya ada di mana-mana. Setiap sapaan hangat, setiap obrolan ringan, setiap tawa bersama, mengukuhkan keyakinannya bahwa ia dikelilingi oleh orang-orang yang peduli. Ia seperti magnet bagi kebaikan, memantulkan senyum dan uluran tangan kepada siapa saja yang berpapasan dengannya.

“Ayu itu baik sekali ya, Pak. Orangnya ramah, tidak pernah pelit,” sering ia mendengar bisikan rekan-rekannya. Dan setiap itu pula, hatinya berbunga, mengukuhkan keyakinan pada pepatah neneknya. Bahkan, Rina, sahabat karibnya, seringkali menjadi saksi mata atas kebaikan Ayu. Rina adalah teman terdekat Ayu di pabrik, yang pernah ditolong Ayu berkali-kali, mulai dari membayar cicilan kontrakan yang tertunggak, meminjami uang untuk anaknya yang sakit, hingga mendengarkan setiap keluh kesahnya yang tak berujung. Bagi Ayu, Rina adalah saudara yang tak sedarah, tempatnya berbagi cerita, tempatnya menumpahkan isi hati.

Namun, hidup adalah panggung sandiwara, yang terkadang, ironi adalah aktor utamanya. Musibah itu datang secara tiba-tiba, menyergap Ayu bagai serigala lapar di malam gelap. Rio, adik semata wayangnya, mendadak jatuh sakit. Demam tinggi, ruam di sekujur tubuh, dan lemas yang luar biasa. Hasil pemeriksaan dokter menunjukkan Rio terjangkit demam berdarah yang sudah parah, trombositnya anjlok drastis, membutuhkan perawatan intensif dan obat-obatan mahal yang harus dibeli di luar rumah sakit. Biaya yang harus dikeluarkan menggunung, melebihi seluruh tabungan Ayu yang selama ini ia kumpulkan dari keringatnya.

Ayu kelimpungan. Ia sudah menjual semua perhiasan pemberian almarhumah ibunya, sudah meminjam ke koperasi pabrik, namun semua tak cukup. Rio membutuhkan transfusi darah secepatnya, dan ada biaya besar yang harus dibayar tunai. Pada titik itulah, pepatah neneknya kembali bergaung di benaknya, "Orang yang baik pasti akan mendapat kebaikan di manapun." Ia tersenyum tipis, yakin bahwa inilah saatnya kebaikan-kebaikannya akan berbuah.

Dengan langkah gontai namun penuh harap, ia mulai mendatangi satu per satu teman-temannya. Pertama, Pak Herman, mandor yang pernah ia bantu saat istrinya melahirkan. "Aduh, Yu, maaf sekali. Anakku baru masuk kuliah, biaya sangat besar. Nanti kalau ada rezeki lebih, pasti kubantu ya." Kemudian Bu Titin, rekan kerja yang pernah ia gantikan shift malamnya berkali-kali. "Maaf ya, Yu. Aku juga lagi butuh buat bayar sekolah anak. Kamu tahu sendiri kan, gaji pabrik ini pas-pasan."

Setiap pintu yang ia ketuk, setiap tangan yang ia genggam, setiap mata yang ia tatap, memantulkan jawaban yang sama. Simpati, tapi tak ada bantuan. Alasan demi alasan, sejuta dalih yang mengoyak-ngoyak harapan Ayu. Mereka memberinya kata-kata manis, "Yang sabar ya, Yu," "Semoga Rio cepat sembuh," namun tak ada satu pun yang menawarinya uluran tangan nyata.

Ayu merasa seperti patung garam di tengah lautan badai, perlahan-lahan terkikis oleh realita. Pepatah neneknya mulai terasa sumbang di telinganya. Apakah kebaikan-kebaikanku selama ini hanya fatamorgana? Atau apakah aku yang terlalu naif?

Di titik terendah, ia teringat Rina. Sahabat terdekatnya, tempatnya menumpahkan segala keluh kesah. Ayu datang ke rumah Rina, dengan wajah sembap dan mata bengkak. "Rina... aku butuh bantuanmu. Rio butuh operasi secepatnya. Aku butuh uang, berapa saja. Nanti pasti aku ganti, Na," suara Ayu bergetar, nyaris tak terdengar. Ia berharap Rina akan menjadi pelabuhan terakhirnya.

Rina menatap Ayu dengan pandangan iba. Namun di matanya tak ada sedikit pun tanda akan menolong. "Ayu, aku tahu kamu sedang susah. Tapi kamu tahu sendiri, aku juga lagi sulit. Cicilan motorku belum bayar, anakku juga butuh jajan banyak. Gimana ya..." Rina mengangkat bahu, mengakhiri kalimatnya dengan nada yang tak memberi harapan. Ia menoleh ke arah televisi, seolah acara sinetron lebih menarik daripada air mata sahabatnya.

Hancur. Hancur luluh. Bukan sekadar sakit, tapi remuk redam. Dunia Ayu mendadak runtuh. Pepatah neneknya kini hancur berkeping-keping di dasar hatinya yang berdarah. Ia merasa ditelanjangi di tengah keramaian, dibiarkan berdiri kedinginan tanpa sehelai benang penutup.

Selama ini, ia hanya merasa memiliki banyak teman. Nyatanya, ia hanya kenal banyak orang. Hanya kenal. Mereka hanyalah koleksi wajah-wajah yang pernah ia bantu, tapi tak satu pun yang tulus bersahabat dengannya. Mereka adalah bayang-bayang di balik cahaya kebaikan Ayu, yang hanya akan muncul ketika ada terangnya, dan menghilang saat cahaya itu redup.

Dengan langkah yang menyeret, Ayu meninggalkan rumah Rina. Air mata akhirnya tumpah, bukan lagi dalam isak, tapi dalam raungan hampa yang tak bersuara. Langit malam itu terasa lebih kelam, lebih dingin. Ia berjalan tanpa arah, hati dan pikirannya dipenuhi kehampaan. Pepatah itu, yang ia yakini sepanjang hidup, kini menjelma menjadi kutukan ironis.

Ayu kembali ke rumah sakit, menatap Rio yang terbaring lemah di ranjang. Mesin-mesin berbunyi monoton, seolah menghitung mundur sisa waktu. Ia ingin berteriak, mengutuk takdir, mengutuk semua orang yang pernah ia tolong. Tapi lidahnya kelu, hanya air mata yang terus mengalir, membasahi pipinya yang kian tirus.

Malam itu, di antara dinding-dinding putih rumah sakit, Ayu duduk sendirian. Menatap adiknya yang perlahan menjauh dari genggaman hidup. Ia telah memberikan seluruh hatinya, seluruh tenaganya, seluruh kebaikannya kepada dunia. Tapi kini, saat ia sendiri membutuhkan uluran tangan, dunia membalikkan badan, menyisakan dirinya dalam kesepian yang menusuk.

Kebaikan, pikirnya, kadang hanyalah benih yang ditabur di tanah tandus. Kadang tumbuh, kadang tidak. Dan ketika badai datang, hanya yang berakar dalam yang akan bertahan. Ayu menyadari, akar-akarnya selama ini ternyata hanya berpijak pada ilusi.

Pagi itu, lampu di ruangan Rio padam. Dokter menggelengkan kepala. Ayu tidak lagi menangis. Tidak ada lagi air mata yang tersisa. Hatinya telah mengering, menjadi debu.

Di antara dinginnya ruangan rumah sakit dan aroma antiseptik, ia akhirnya memahami. Pepatah neneknya benar. Orang baik akan mendapatkan kebaikan. Tapi kebaikan itu, tidak datang dari mana saja. Kebaikan itu datang dari Tuhan. Dan dari dirinya sendiri, yang harus tetap baik, bahkan setelah dunia membusuk di sekelilingnya.

Namun, harga dari pelajaran itu terlampau mahal, sebuah harga yang harus dibayar dengan senyumnya yang mati, hatinya yang hancur, dan kehilangan satu-satunya keluarga yang ia miliki. Dan di penghujung kebersamaan, ia hanya ditemani sunyi, dan sisa-sisa debu kepercayaan yang beterbangan dalam kehampaan.


karya: asai, 2025

Posting Komentar