Reshuffle Boneka Baru: Cerpen Obrolan Gembel #2

Sebuah cerpen yang berisi kritik tentang reshuffle karbinet pemerintahan, jendral yang melaporkan rakyat, maupun pajak yang menyerang pabrik rokok.
Gambar seorang pria kurus memakai sarung sedang meronda bersama seorang pria gemuk memakai jaket MU manchester united di malam hari : Cerpen Gembel #2

Malam melarung, membentangkan kain gelap di atas punggung kota yang kian bengkak oleh bisingnya kesibukan. Namun, di sudut desa, di pos ronda reyot yang usianya (mungkin) lebih tua dari kemerdekaan republik ini, waktu seperti terdiam. Hanya sesekali terdengar dengung nyamuk putus asa yang mencoba membelah udara, atau lengkingan cicak yang frustrasi mengejar mangsa. Di sanalah, dua manusia purba modern, Gemblung dan Mbelgedes, menautkan nasib di bawah lampu bohlam lima watt yang berkedip malu-malu.

Lukman, alias Gemblung, adalah prototipe dari paradoks kehidupan. Ia sering dianggap sebagai manusia yang tak pernah modal, kecuali korek api. Sebuah korek api gas, merah menyala, sering kali menjadi saksi bisu dari eksistensinya yang tak terduga. Itu adalah modal terbesarnya, sebuah lambang kontribusi yang tak bisa dipandang sebelah mata. Ia adalah pengembara yang ringan langkah, tak terbebani oleh apa pun, kecuali mungkin beban pikiran yang kadang melesat tanpa kendali.

Fikri, alias Mbelgedes, adalah antitesis sekaligus komplementernya. Ia lebih punya dasar, setidaknya untuk soal tembakau. Ia adalah penyedia logistik utama bagi ritual malam mereka.

Gemblung sangat santai menyelonjor­kan kaki di panggung bambu yang kian berbunyi krek krek. Wajahnya yang kusam, diterpa cahaya remang-remang lampu pos, tampak tenang, seolah tak ada beban seberat Gunung Everest. Di tangannya, terselip sebatang lintingan tembakau yang teracung ke langit, sumbangan dari Mbelgedes. Asapnya mengepul, bersama dengan angan-angannya yang tak pernah berlabuh.

Mbelgedes dengan cekatan melinting tembakau lain. Jari-jemarinya yang kasar terbiasa mengolah daun kering itu menjadi sebatang kenikmatan sesaat. Ia adalah orator alamiah, penentu arah obrolan, walau tak pernah duduk di bangku kuliah. Sementara Gemblung adalah filsuf jalanan, dengan logika yang kadang belok, kadang justru menohok dari sisi lain.

“Gem, aku kadang mikir, lho,” Mbelgedes memulai, suaranya berat. “Di negara-negara gede itu, jenderal-jenderal mereka kan sibuk atur strategi perang. Mikir gimana caranya ngalahkan musuh, gitu. Biar negaranya digdaya. Lah, kok di sini? Di negeri kita ini, kok malah ada jenderal yang sibuk njebloskan rakyatnya sendiri, yang pada kritik pemerintah. Piye jal itu?”

Gemblung mengepulkan asap. Matanya menerawang.

“Lha, ya wajar saja to, Mbel.”

Mbelgedes mengerutkan kening. “Wajar gimana? Itu kan malah ngurusi hal sepele. Masak jenderal ngurus rakyat sendiri?”

“Ya, biar mereka punya kegiatan lain to, Mbel. Kan ndak melulu perang. Mungkin itu hobi baru. Sekali-sekali nyicipi jadi penegak hukum, kan juga seru. Lagian, kalau ndak ada yang dipenjara, nanti rakyat pikir mereka ndak kerja. Biar kelihatan sibuk, Mbel.”

Gemblung terkekeh, tawa sinis yang mengiris. Ia menyindir bagaimana nalar dan akal sehat para penguasa terkadang terbalik, memandang mereka yang seharusnya dilindungi justru sebagai ancaman. Penguasa yang terlalu “sibuk” mencari musuh di kalangan rakyat sendiri, seolah-olah kritik adalah peluru tajam yang mengancam kekuasaan, padahal itu hanyalah cermin yang menunjukkan wajah buruk mereka.

Mbelgedes mendengus. “Ada-ada saja logikamu itu, Gem. Kayak ndak ada kerjaan lain saja. Harusnya mikir kemakmuran rakyat, bukan bikin rakyat tambah susah.” Ia lalu mulai mencipta lintingan tembakau baru, yang diharapkan lebih nikmat dari sebelumnya.

“Ngomong-ngomong susah, Gem,” Mbelgedes kembali membuka topik, nadanya kali ini lebih menusuk. “Wingi kancaku di pabrik rokok ‘Gudang Asinan’ itu, lho, banyak yang di-PHK. Katanya gara-gara pajak rokok tambah gede. Lha, kalau pajaknya tambah gede, rokok jadi tambah mahal. Lama-lama pabrik bangkrut semua. Besok kita ini mau ngrokok apa, Gem? Daun singkong beneran? Habis kita kalau semua bangkrut, rokok pada mahal, terus yang nyediain lapangan kerja siapa?”

Gemblung hanya manyun. “Lha, ya bagus, to?”

Mbelgedes melotot. “Bagus piye? Itu teman-teman kita, Gem! Itu nasib orang-orang!”

“Iya, bagus, to, Mbel. Biar pada berhenti ngrokok, ben sehat. Kan pemerintah mikir kesehatan rakyatnya. Ini bentuk perhatian, Mbel. Mungkin rokok daun singkong itu branding baru kita. Atau biar jadi tantangan baru, siapa yang paling kuat ngempos tembakau lintingan. Kan biar kreatif. Pemerintah itu cerdas, Mbel, bikin kita inovatif tanpa sadar,” sahut Gemblung santai, bibirnya menyunggingkan senyum absurd.

Ia seolah mewakili pandangan yang menganggap enteng setiap penderitaan rakyat, mengemasnya menjadi “inovasi” atau “perhatian” pemerintah, sebuah bentuk sarkasme terhadap pembenaran-pembenaran konyol atas kebijakan yang mencekik.

Kritik itu meluncur begitu saja. Sebuah sindiran terhadap kebijakan pajak yang sering kali mencekik rakyat kecil, terutama di sektor-sektor yang menjadi penopang hidup mereka. Para pembuat kebijakan itu seolah-olah hidup di menara gading yang tak terjangkau oleh aroma asap tembakau rakyat, hanya melihat angka di atas kertas tanpa pernah mencium pahitnya kenyataan di kantong para buruh rokok, atau di dompet para perokok lintingan yang hidupnya sudah pas-pasan. Mereka bertanya-tanya, apakah para “pemikir bangsa” itu tidak melihat efek domino dari kebijakan mereka?

Mbelgedes teringat demo besar-besaran Agustus kemarin, gema protes yang membahana di jalanan ibu kota. Beberapa wajah “pentolan” kabinet di televisi sudah diganti. Reshuffle, katanya. Regenerasi. Pembaruan. Tapi bagi mereka berdua, itu hanyalah sebuah sandiwara.

“Gem, masih ingat kemarin pas demo gede-gedean Agustus itu?” Mbelgedes bertanya, matanya menerawang jauh, menembus kabut malam. “Terus kan ada reshuffle, to? Banyak menteri yang diganti.”

Gemblung mengangguk, melipat kedua tangannya di dada. “Lha, iya. Itu namanya atraksi, Mbel. Biar ada tontonan. Kan rakyat juga butuh hiburan, to? Apalagi kalau ada wajah-wajah baru yang masuk tipi, biar ndak bosen. Lagian, diganti itu kan maksudnya ‘diganti posisi’, bukan ‘diganti orangnya’. Mungkin cuma tukar posisi saja, ibarat di permainan sepak bola dari pemain sayap jadi pemain tengah, tapi timnya tetap itu-itu saja.”

Mbelgedes melongo mendengar perbandingan ngawur dari Gemblung. “Logikamu kok ngawur to, Gem? Itu kan soal masa depan negara, bukan tontonan bola! Kita ini butuh perubahan betulan, bukan cuma ganti boneka, tapi otaknya tetap sama.”

Gemblung mengangkat bahu. “Lha, kalau mikir perubahan betulan malah mumet, Mbel. Mending nonton pertunjukan. Mungkin mereka memang ndak punya otak baru, jadi pakai yang lama saja. Kan efisiensi katanya?”

Pertanyaan itu melayang di udara, menusuk relung keraguan yang telah lama bersemayam di hati rakyat. Pergantian menteri itu tak ubahnya pertunjukan sulap murahan, di mana yang hilang akan muncul lagi dalam bentuk yang berbeda, namun esensinya tetap sama. Mereka menyoroti bagaimana sistem oligarki bekerja, mengubah wajah tetapi mempertahankan inti. Sebuah sistem di mana kekuasaan adalah benda pusaka yang diwariskan atau direbut, bukan amanah yang dipercayakan.

Malam semakin larut. Bintang-bintang berserakan di kanvas langit, terlalu jauh untuk bisa menjadi jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan mereka. Keduanya terdiam sejenak, masing-masing sibuk dengan lamunannya.

“Gem, aku kadang mikir, lho,” Mbelgedes memecah kesunyian, suaranya lebih lirih. “Negara ini besok mau jadi apa? Orang-orang gede di atas sana itu kok sepertinya ndak peduli, ya, sama kita yang muda-muda ini. Masa depan negara kok makin ndak jelas.”

Ia tak lagi membicarakan jenderal atau menteri, ia berbicara tentang masa depan yang terasa abu-abu, tanpa arah.

Gemblung hanya menghembuskan asap rokoknya, membiarkan embusan itu menjelma tanda tanya raksasa. “Lha, iya, Mbel. Itu urusan mereka yang di atas. Lha kita berdua saja bagaimana? Orang sama-sama pengangguran begini. Umur sudah mau kepala tiga. Istri ndak punya, anak apalagi.”

Sebuah pertanyaan eksistensial yang pahit. Di ambang usia tiga puluh, usia di mana seharusnya mereka sudah menjejakkan kaki pada kemapanan, mereka masih terombang-ambing dalam ketidakpastian.

“Lha itu, Gem! Ini yang bikin pusing! Masa depan kita sendiri ndak jelas. Apalagi masa depan negara!” Mbelgedes mengeluh, menepuk dahinya.

Gemblung tersenyum tipis. “Ngopo mikir gituan to, Mbel? Yang penting saiki kita ngopi, ngrokok. Masa depan itu kan urusan besok, sing penting hari ini kita hidup dulu. Kayak kamu sekarang, pusing mikir besok mau makan apa, padahal rokok di tanganmu belum habis. Itu buang-buang energi. Sing penting kita happy sekarang. Nanti pasti ada jalannya, kayak tembakau ini, pasti ada yang nyediain lagi.”

Sebuah pertanyaan eksistensial yang pahit. Ironi yang menyakitkan, ketika ambisi negara begitu agung, namun ambisi untuk sekadar punya pekerjaan layak dan keluarga menjadi kemewahan. Mereka adalah bunga-bunga padang pasir yang tak kunjung mekar, kering sebelum sempat melepaskan serbuk sari kehidupan.

Mbelgedes mendongak, menatap rembulan yang memucat. Ia membayangkan skenario-skenario masa depannya. Mungkin ia akan selamanya menjadi pemasok tembakau lintingan. Atau mungkin ia akan jadi bapak tua yang selalu menyisakan sisa remukan tembakau untuk Gemblung yang tak pernah modal.

Pikirannya melayang, jauh sekali, ke dimensi lain di mana masa depan itu mungkin saja berwujud. Dalam lamunan panjang Mbelgedes, ia tak menyadari pergerakan halus Gemblung. Dengan cekatan dan tanpa suara, seperti siluman malam, tangan Gemblung menyambar sebuah kantung plastik transparan yang berisi tembakau kiloan, sebuah persediaan darurat yang selalu Mbelgedes sembunyikan di bawah bangku yang krek krek itu.

Lalu, tanpa aba-aba, Gemblung melesat pergi, langkahnya ringan seolah tak pernah memikul beban hidup seberat obrolan mereka.

Mbelgedes tersentak dari lamunannya. Ia menyadari kantung tembakau daruratnya telah raib. Ia melihat ke sekeliling, dan hanya ada angin malam.

“Gem! Siaaalaaaaaan! Kembalikan tembaka­ukuuuuu!”

Teriakan Mbelgedes pecah, memecah keheningan malam yang sunyi. Namun, suara itu hanya bergema di pos ronda yang sepi.

Gemblung, si pengembara sejati, sudah menghilang ke dalam kegelapan, menyisakan tawa kecil yang hanya bisa terdengar oleh kuping angin, dan tumpukan abu rokok, serta sejuta pertanyaan tentang masa depan yang menggantung seperti gumpalan asap yang tak pernah menemukan bentuk.

Sebuah akhir yang konyol, namun menyimpan ironi: bahkan di tengah kegelapan masa depan yang tak pasti, ada saja yang memanfaatkan kesempatan, mengambil keuntungan, tak peduli siapa yang dirugikan. Seperti kisah negeri ini, barangkali.

Posting Komentar