Cerpen - Malam di Balik Baracuda

Cerpen tentang pasukan khusus yang dilatih bengis hingga pemberontakan terjadi. Sebuah kisah gelap tentang nurani, kekuasaan, dan dendam.
Bayangan prajurit melawan bayangan raksasa - Siluet seorang prajurit berdiri tegak di hadapannya ada bayangan besar menyerupai monster iblis yang dibentuk dari asap hitam Ini menggambarkan pertarungan melawan sistem kejam yang lebih besar dari dirinya

Kita memang sudah dilatih, jauh lebih bengis dari hanya sekadar melanggar sampai mati. Itu terlalu dasar. Sejak awal mula masuk ke instansi khusus, ada latihan rutin yang ketika awal mendengarnya membuat merinding.

Anak-anak ayam berumur dua pekan ditempatkan dalam tampah berdiameter 50 cm. Salah satu instruktur berdiri tegap, berkata santai tanpa beban, intonasinya datar dan dalam, “Hitungan sepuluh, ayam-ayam itu harus mati!” Mereka yang baru masuk ke tahap ini tanpa latar belakang ba*jingan bergidik, tenggelam dalam keraguan.

Tiga, lima orang telah membersihkan tampah. Darah bermuncratan di sekelilingnya, yang lain dengan cepat mengikuti. Satu orang tak mengambil tindakan. Instruktur geram, “Di sini bukan rumah kucing anggora! Kalau enggak bisa pakai seragam pasus, pulang sana, pakai rok, berdandan sepanjang hari di depan cermin!”

“Maaf, Komandan. Kalau sekadar bu*nuh anak ayam terlalu receh, berikan dua-tiga murid terbaik Komandan. Saya akan bunuh mereka dalam sekejap,” timbalnya relaks, tenang sambil melihat wajah beringas teman-temannya yang telah selesai membunuh anak-anak ayam.

Instruktur tersenyum sinis, berjalan mendekati salah satu bawahannya. “Perintah atasan adalah mutlak. Besok kita akan mengawal demo besar. Kalau yang sesederhana ini saja kamu enggak bisa, melawan massa yang enggak kehitung kamu mau hadapi dengan penjelasan retoris kosong gini?”

Dengan sigap dan kecepatan terlatih di atas rata-rata, anak buah itu membanting komandannya. Semua terbengong. Ternyata kini komandannya yang terkunci, tangannya melingkar di leher. Keadaan panik seketika. Instruktur itu berusaha membongkar kuncian, nihil. Ingatan terbang cepat ke latihan beban di kala sepi yang biasa dirutinkan.

Ketika atasan itu ingin benar-benar membongkar kuncian, dengan tenang hasil latihan selama ini diaplikasikan. Krek! Kla! Bunyi patahan tulang. Darah muncrat dari mata, hidung, dan mulut. Instruktur itu tak lagi bisa melihat matahari terbit.

“Kalian mau ngawal demo besar besok?” tanyanya santai kepada teman-temannya. “Jangan sampai ada warga yang terbunuh. Tugas memang tugas, tapi kalau perintahnya di luar nalar manusia, itu bukan tugas. Saya keluar dari instansi ini.”

Ia berjalan ringan. Tak ada satu pun temannya yang berani mengeroyoknya. Mereka seolah bisu, membeku dalam keadaan.


Massa begitu tumpah ruah, membuat lorong panjang yang hiruk-pikuk. Sebuah mobil barakuda berjalan pelan, penuh kehati-hatian, ketakutan, kebingungan, perasaan bersalah, keresahan yang tak pernah tuntas.

Seorang driver ojek online melintas, menyebrangi jalan terburu-buru. Pikirnya ia mampu melewati mobil barakuda lebih cepat. Ternyata tidak. Kakinya tertabrak hingga tersungkur. Mobil sempat terhenti. Massa bergerak mendekat. Orang-orang di dalam mobil panik.

“Sekalian tabrak aja! Mati kita lawan massa sebanyak ini!” kata salah seorang pasus dengan kepanikan menggila.

Mobil digerakkan. Tewaslah driver ojek online itu. Massa pecah mengejar, berteriak, mencaci maki, melempari dengan apa pun yang ada.

“Kita bagai anjing mengejar kawanan gajah, hanya berisik tapi tak memberikan kerusakan setimpal buat mereka,” kata salah seorang demonstran lirih. Ia mencatat betul kejadian itu.

Pulang dengan membawa lahar dalam laut, ia mengingat plat nomor mobil beserta beberapa cirinya. Nama-nama pengemudi dan penumpang mobil barakuda pembunuh ojol telah didapatkannya. Tempat mereka tak sulit dicari. Ternyata mereka kini selalu bersama setelah kejadian keji itu.

Di dalam kamar yang remang, hanya diterangi cahaya bulan dan beberapa percikan sinar lampu dari gedung seberang, mereka tak bisa tidur. Perasaan bersalah mutlak menguasai. Ketakutan merenggut segalanya.

Salah seorang dari mereka mengingat perkataan temannya yang kemarin baru saja membunuh komandan, “Kalau si pendiam kejam itu datang, kita pun dengan mudah bisa mati di tangannya!”

Sontak pandangan para budak penguasa iblis tertahan pada satu titik. Wajah mereka mengeras, berupaya menampik kemungkinan itu. “Ah, enggak mungkin. Dia kan cuma satu orang. Kita keroyok pun mati!” timpalan supir barakuda itu.

Krucuk... krucuk... Sesuatu mengalir deras. Tumbang! Yang lain berhamburan. Dia datang! Salah satu mencoba membuka pintu. Dua tumbang, tiga, lima, enam—semuanya tak lagi bernyawa.

Sisa satu supir barakuda meringis, berupaya memasang kuda-kuda, ingin mencicipi pertarungan melawan pembunuh komandannya.

Pria itu tenang. Sedikit tarik napas. Supir itu meringsek ke arahnya. Sia-sia! Lehernya telah mengalirkan cairan merah. Satu per satu diperiksa, dipastikan tak ada yang selamat malam itu.

Ketemu satu orang berusaha memalsukan kematiannya. Sep! Krek! Langsung saja ditikam hingga tulang lehernya patah. Mati.

Pemuda itu pergi. Dari apartemen tingkat tertinggi, ia turun santai setelah membersihkan tangan dan bajunya dari cipratan darah.

Petinggi pasus menggeretakkan gigi, melihat dengan mata kepala sendiri keadaan apartemen yang berantakan dengan cipratan darah di mana-mana. Kalau gegabah, aku pun bisa berakhir seperti mereka.

“Capt, data anak itu sudah kita kantongi. Apa keluarganya kita musnahkan saja?”

Petinggi itu berisyarat. “Tunggu! Kalau kita hancurkan keluarganya, taruhannya instansi kita hancur. Bahkan jauh lebih gila dari yang dibayangkan. Orang itu bukan sembarang orang! Selanjutnya dia pasti mengeksekusi sendiri kasus-kasus kotor yang mungkin terjadi ke depannya. Kita butuh rapat mendalam terkait kasus ini!” tutupnya.


—Pamulang, Sabtu, 30-08-25, 09.23, halub© 

Posting Komentar