Di sebuah danau yang sangat indah, tinggallah seekor Angsa bernama Putih. Ia punya bulu yang sangat, sangat cantik. Putih sekali, seperti salju yang baru turun, dan selalu berkilauan saat terkena sinar matahari. Lehernya jenjang, jalannya anggun, oleh sebab itu Putih selalu menjadi pusat perhatian.
Sayangnya, Putih agak sombong. Ia selalu membanggakan bulunya yang indah. "Lihat aku! Betapa cantik buluku! Bersih, putih, dan bersinar!" begitu sering ia berseru sambil mengibas-ibaskan sayapnya.
Ia sering mengejek teman-temannya yang lain. Saat melihat Bebek berjalan "wek-wek-wek" sambil bergoyang, Putih akan berkata, "Duhai Bebek, kenapa jalanmu aneh sekali? Seperti ingin jatuh saja!"
Saat Entok lewat dengan suara "nguak-nguak"nya yang keras, Putih akan cemberut. "Aduh, Entok! Bisakah kamu lebih pelan bicaranya? Suaramu membuat buluku keriting!"
Ayam pun tak luput dari ejekannya. "Ayam, lihat buluku! Tidak seperti bulumu yang cuma begitu-begitu saja warnanya, tidak berkilau!"
Semua teman-temannya hanya diam. Mereka sedih dengan sikap Angsa Putih. Mereka tahu, Putih itu memang cantik, tapi sombongnya luar biasa. Lama-lama, tak ada lagi yang mau mendekat, apalagi bermain dengan Angsa Putih. Putih pun sendirian, hanya asyik melihat bayangannya sendiri di air dan memuji-muji bulunya.
Suatu sore, hujan turun sangat deras. Danau meluap. Di dekat danau, ada kubangan lumpur yang sangat besar. Tanah di sekitarnya jadi becek sekali. Bebek, Entok, dan Ayam, mereka semua hati-hati berjalan menjauhi kubangan lumpur.
"Putih, jangan lewat dekat situ! Lumpurnya lengket dan kotor sekali!" teriak Bebek mengingatkan.
Tapi Angsa Putih hanya tertawa. "Hahaha! Mana mungkin Angsa secantik aku bisa kotor oleh lumpur menjijikkan seperti itu? Buluku ini terlalu berharga!" Ia malah ingin memamerkan bulunya yang tetap bersih di tengah lumpur.
Angsa Putih berjalan di pinggir kubangan lumpur, sangat dekat dengan air kotor itu. Ia ingin membuktikan kalau bulunya tidak akan terkena noda. Ia sibuk menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari bayangannya di genangan air jernih, ingin memastikan bulunya tetap sempurna.
Tiba-tiba, ia tak sengaja menginjak sebuah batu kecil yang licin. "Byuur!" Angsa Putih kehilangan keseimbangan! Ia terjatuh ke dalam kubangan lumpur yang gelap dan kotor itu!
"Tidaaak!" teriaknya. Tubuh Angsa Putih langsung penuh lumpur dari ujung kepala sampai ujung kakinya. Bulu putihnya yang tadinya bersih berkilauan, kini menjadi hitam pekat, lengket, dan bau! Ia berusaha berdiri, tapi licin sekali. Ia berenang pelan ke pinggir danau.
Saat ia berhasil keluar dari kubangan, Angsa Putih menangis tersedu-sedu. Ia mencoba membersihkan bulunya, tapi lumpur itu begitu tebal dan sulit hilang. Ia melihat teman-temannya yang tadi sudah memperingatinya. Tapi mereka hanya menatapnya dengan prihatin, tidak menertawakannya.
Angsa Putih merasa sangat malu. Ia merasa jelek, kotor, dan sangat sedih. Ia juga teringat semua perkataannya yang menyakitkan. Bagaimana ia sering mengejek Bebek, Entok, dan Ayam. Ia menyadari, tak ada gunanya bulu cantik jika tidak punya teman yang baik.
Dengan langkah pelan dan hati yang berat, Angsa Putih mendatangi teman-temannya. Ia menunduk.
"Teman-teman..." ucap Angsa Putih dengan suara pelan dan serak. "Maafkan aku... Maafkan aku karena selama ini aku sombong. Maafkan aku sering mengejek kalian. Aku tahu aku salah. Sekarang buluku kotor dan jelek, tidak ada gunanya sama sekali jika aku tidak punya teman. Aku... aku menyesal."
Bebek, Entok, dan Ayam saling berpandangan. Mereka melihat ketulusan di mata Angsa Putih.
"Tidak apa-apa, Putih," kata Bebek dengan lembut. "Kami mengerti. Ayo, kami akan bantu kamu membersihkan lumpur ini."
Bersama-sama, mereka membantu Angsa Putih membersihkan bulunya. Butuh waktu lama, tapi perlahan, bulu putih Angsa kembali terlihat. Tidak seberkilau dulu, tapi setidaknya ia bersih.
Sejak hari itu, Angsa Putih tidak pernah sombong lagi. Ia belajar bahwa kebaikan hati dan memiliki teman yang tulus jauh lebih penting daripada bulu yang cantik. Ia pun menjadi Angsa yang ramah dan selalu membantu teman-temannya.
***
karya: asai, 2025
