Di sebuah telaga yang jernih, hiduplah seekor Ibu Bebek yang sangat sabar. Ia punya lima anak bebek yang lucu-lucu. Empat anaknya penurut, selalu berjalan rapi di belakangnya. Tapi si bungsu, namanya Ciko, dia itu beda sendiri. Ciko sangat lincah dan punya rasa ingin tahu yang besar. Ia suka sekali berlari-lari sendiri, menjauh dari kakak dan ibunya, mencari petualangan baru.
"Ciko, jangan lari jauh-jauh, Nak!" seru Ibu Bebek sambil berenang pelan. "Hutan itu luas dan banyak bahayanya. Tetaplah dekat dengan Ibu dan kakak-kakakmu!"
Ciko hanya menoleh sebentar, lalu cipak-cipuk air dengan kakinya yang mungil, dan lari lagi! "Ibu, lihat! Ada capung cantik!" atau "Kakak, lihat! Ada bunga warna-warni!" serunya sambil terus melesat. Ibu Bebek hanya bisa menghela napas. Ia tahu, Ciko memang sulit diatur.
Suatu pagi yang cerah, Ibu Bebek mengajak anak-anaknya mencari cacing di tepi hutan. Empat anak bebek yang lain asyik mematuk-matuk tanah di dekat Ibu Bebek. Tapi Ciko, oh Ciko! Dia melihat seekor kupu-kupu bersayap biru terang.
"Wah, cantik sekali!" pikir Ciko.
Tanpa pikir panjang, ia langsung mengejar kupu-kupu itu. Wusss! Ciko lari makin jauh, mengikuti kupu-kupu yang menari-nari. Ia terlalu asyik sampai tidak sadar, kupu-kupu itu terbang menembus semak-semak lebat, sampai akhirnya Ciko... tersesat!
"Kupu-kupu, ke mana kamu?" panggil Ciko.
Tidak ada jawaban. Hutan tiba-tiba terasa gelap dan sangat sunyi. Tidak ada lagi suara Ibu Bebek yang memanggil, tidak ada suara kakak-kakaknya. Ciko mulai ketakutan.
"Ibu! Ibu!" panggilnya, suaranya bergetar. Tapi hanya gema yang membalas. Air matanya mulai menetes. Ia menyesal tidak mendengarkan perkataan sang Ibu.
Tiba-tiba, dari balik pohon besar, muncul seekor Musang. Musang itu bertubuh ramping, dengan kumis panjang dan mata licik. Ia mendekati Ciko perlahan, tersenyum manis. Padahal, senyum Musang itu sangat menyeramkan!
"Hai, Bebek kecil yang lucu!" sapa Musang dengan suaranya yang lembut, padahal menyeramkan. "Kenapa sendirian di sini? Kamu tersesat, ya? Jangan takut, Om Musang baik hati kok. Om tahu jalan pulang. Mau Om antar pulang ke telaga?"
Ciko yang ketakutan tapi juga rindu ingin pulang, hampir saja mengangguk. Musang itu makin mendekat, matanya berkilat-kilat. Grrr... Perut Musang berbunyi, seolah membayangkan betapa lezatnya daging bebek kecil itu. Ia sudah siap menerkam Ciko!
Tepat di saat itu, sebuah suara "KWAAKK!" yang sangat keras menggelegar! Ibu Bebek! Ia datang!
Ibu Bebek melihat Ciko di dekat Musang. Jantungnya berdebar kencang, tapi otaknya bekerja cepat. Ia tahu, ia tak bisa melawan Musang yang lincah itu dengan tubuhnya yang gemuk. Jadi, Ibu Bebek punya ide cemerlang!
Ia melihat ada pohon tinggi di dekat Musang dan Ciko, di dahan pohon itu tergantung sarang tawon yang sangat besar. Dengan seluruh kekuatannya, Ibu Bebek berusaha mengibaskan sayapnya sekencang-kencangnya, lalu melompat seolah menabrak tanah di bawah sarang tawon tersebut.
"KWAAAKKK!!! TOOOOLOOOONG!!!!" teriaknya sambil berlagak kakinya tersangkut di akar pohon dan susah bergerak. Seolah ia mangsa yang mudah.
Musang yang licik itu melihat Ibu Bebek dan mengira, "Wah, ada Ibu Bebek! Dia lebih besar, pasti lebih kenyang! Dan dia sepertinya kesakitan, pasti mudah ditangkap!" Pikiran Musang langsung beralih dari Ciko. Ia melesat mendekati Ibu Bebek, tak sabar ingin menerkam.
Begitu Musang sudah sangat dekat dengan sarang tawon, Ibu Bebek dengan gesit mengangkat paruhnya dan mematuk sarang tawon itu sekali dengan sangat kencang, lalu langsung melesat lari!
Bzzzzz! Bzzzzzzz! Ribuan tawon keluar dari sarangnya, marah besar karena sarang mereka diganggu! Tawon-tawon itu melihat Musang yang ada di dekat sarang mereka, dan mengira Musanglah yang mengganggu mereka!
"AWWW! SAKIT!" Musang berteriak kesakitan, tubuhnya digigit oleh tawon-tawon yang marah. Ia menggaruk-garuk tubuhnya sambil melompat-lompat, lalu lari terbirit-birit, masuk ke dalam semak-semak dan menghilang!
Ibu Bebek segera menghampiri Ciko yang masih diam ketakutan. "Ciko! Ayo cepat lari ke Ibu!" serunya. Ciko langsung berlari dan bersembunyi di bawah sayap Ibunya.
Setelah merasa aman, Ciko mulai menangis terisak-isak. "Ibu... hikss... Ibu... maafkan Ciko! Ciko nakal! Ciko tidak dengar kata Ibu! Ciko menyesal, Bu! Ciko tidak akan lari-lari sendiri lagi!"
Ibu Bebek memeluk Ciko erat-erat. Ia membelai kepala Ciko dengan lembut. "Sudah, Nak. Jangan menangis lagi. Ibu tahu kamu menyesal. Untunglah Ibu menemukanmu. Ingat ya, sayang. Ibu melarangmu karena Ibu menyayangimu. Ibu tidak ingin kamu dalam bahaya. Berjanjilah kamu tidak akan ulangi lagi, ya?"
Ciko mengangguk cepat. "Janji, Bu! Ciko sayang Ibu! Ciko akan selalu dekat dengan Ibu!"
Sejak hari itu, Ciko tidak pernah lagi lari-lari sendirian. Ia selalu berjalan rapi di belakang Ibu Bebek, mendengarkan nasihat Ibunya, dan tahu bahwa petualangan terbaik adalah petualangan bersama orang-orang yang kita sayangi.
***
karya: asai, 2025