Di bawah samudra langit yang mulai memudar di penghujung hari, seorang lelaki paruh baya menengguk secangkir kopi. Racikan warisan yang 'katanya' diturunkan oleh leluhur, menjadikannya beraroma khas dan berpahit pas. Lelaki itu bukanlah seorang yang badannya kekar, atau berwajah rupawan bak dewa. Bukan pula seseorang yang mengemban gelar mentereng, apalagi menjadi sang pelahap harta yang melimpah ruah.
Ia adalah Arka, lelaki yang terperangkap dalam jaring-jaring waktu, seorang musafir abadi di koridor pikiran dan perasaan. Sejak embun pertama jatuh di dedaunan hatinya, ia sudah diprogram untuk berlari. Bukan berlari menuju keindahan fajar, melainkan berlari dari bayang-bayang masa lalu, atau berlari mengejar fatamorgana masa depan.
Hidup Arka adalah sebentuk paradoks. Ia mengejar ketenangan, tapi jiwanya tak pernah tenang. Ia mendamba kedamaian, namun batinnya adalah medan perang abadi. Sel-sel otaknya tak pernah berhenti memutar rol film. Pagi hari, sebelum kokok ayam menggema di seluh penjuru telinga, pikirannya sudah melesat jauh ke depan. Merencanakan ekspansi bisnis yang belum tentu, menyusun strategi 'bagaimana-jika' untuk setiap skenario kehidupan, dari hal kecil seperti memilih menu makan siang hingga merancang portofolio investasi milyaran rupiah yang masih sebatas angka di layar laptop usang.
Ia akan berlatih keras untuk maraton yang belum ada tanggalnya, mengikuti seminar pengembangan diri yang tak berujung, memadati jadwalnya dengan 'produktivitas' hingga titik nadi terakhir. Ia menuhankan kata 'efisiensi', menghitung setiap detik sebagai potensi rupiah atau kenaikan pangkat. "Waktu adalah uang," bisiknya pada diri sendiri, tapi sejatinya waktu adalah cambuk yang ia gunakan untuk menghardik jiwanya sendiri.
Namun, di sela-sela kegilaan mengejar hari esok, bayang-bayang masa lalu tak kalah gigihnya menyita perhatiannya. Malam sunyi Arka adalah panggung bagi sesal yang tak berkesudahan. Sebuah keputusan investasi yang salah lima tahun silam akan kembali menari di pelupuk matanya, dengan skenario yang ia bangun ulang berulang kali: "Andai saja waktu itu aku tidak jual..."
Atau ia akan terperangkap dalam spiral penyesalan akan kata-kata pedas yang pernah terlontar, luka hati yang ia torehkan, kepada sang 'mantan emas' yang ia lepaskan karena kebodohannya.
Ada pula ijazah S2 yang tak jadi diambil, peluang karier yang dulu ia anggap sepele, kini terasa seperti piala emas yang lepas dari genggaman. Semua kenangan itu, baik pahit maupun yang dianggap 'emas' namun telah terlewatkan, menjadi penjara mental yang merenggut kedamaian, menguras energi hingga ia seringkali terbangun saat malam-malam dengan kepala terasa dihantam godam.
Dalam keriuhan mentalnya yang tak berkesudahan itu, Arka mengabaikan esensi hidup yang paling murni, yakni sekarang. Kehadirannya hanyalah wujud fisik yang bergerak, tapi jiwanya adalah pengembara di dimensi waktu yang tak nyata. Ibunya, dengan rambut memutih dan punggung yang semakin membungkuk, seringkali menelepon. "Arka, kapan kau pulang, Nak? Ibu rindu masakanmu." Arka akan menjawab, "Nanti, Bu. Arka sibuk sekali. Banyak deadline." Padahal yang disebut deadline itu seringkali hanyalah obsesi dirinya sendiri.
Sahabat-sahabatnya, yang terkadang mengajaknya untuk sekadar berbagi tawa dan keluh kesah di warung kopi pinggir jalan, akan ia tolak dengan alasan klasik, "buang-buang waktu. Aku harus push lagi, ngejar target."
Saudara-saudaranya, tetangga yang dulu akrab, semua menjadi kabur, seperti bayangan di balik jendela berembun yang lebih terang cahayanya. Ia kekeh dengan pendiriannya, dengan argumennya: "Dunia ini keras, Kawan! Kalau tidak begini, kita akan tergilas! Bersyukur itu kalau sudah sukses!" ia menolak untuk menyadari bahwa 'kesuksesan' yang ia kejar hanyalah angan-angan yang terus-menerus bergerak menjauh, seperti cakrawala yang tak pernah bisa dijangkau.
Arka tidak sadar, bahwa ia sedang memangkas pohon-pohon rindang di taman jiwanya sendiri, pohon-pohon yang menyokongnya, menghiasi harinya, memberinya oksigen kehidupan. Pohon ibu, pohon sahabat, pohon kedamaian hati. Ia membabat itu semua demi menciptakan ruang yang lebih lapang untuk ambisi-ambisinya yang kosong. Ia menjadi sang pengejar bayangan yang menolak melihat matahari ketika bersinar tepat di atas kepalanya. Ia menjadi budak dari ilusi kontrol, percaya bahwa kebahagiaan adalah hasil dari penaklukan masa depan dan penebusan masa lalu.
Suatu saat, entah bagaimana sebabnya, tiba-tiba Arka mendapati dirinya di suatu tempat yang asing. Bukan hutan belantara, bukan puncak gunung, bukan pula dasar lautan. Ia ada di tengah-tengah kehampaan total. Ruangan itu tak berbatas, tanpa suara, tanpa cahaya, tanpa wujud.
Tak ada lagi grafik saham yang bisa ia cek, tak ada lagi rencana bisnis yang bisa ia susun. Tak ada lagi bayangan masa lalu yang bisa ia sesali, atau 'mantan emas' yang bisa ia renungi. Semuanya sirna, melebur menjadi ketiadaan yang mencekam.
Rasa takut itu menyergapnya, meremas jiwanya hingga nyaris remuk. Ketakutan paling purba. Ketakutan akan kehampaan. Ia berusaha mencari pegangan, mencari logika, mencari rencana darurat, tapi tak ada. Pikirannya, sang tuan yang selama ini ia puja, kini menjadi tawanan. Perasaannya, sang dayang yang selalu ia manjakan, kini hanyalah desiran angin tak berwujud.
Dalam kegelapan yang pekat itu, Arka merasakan dirinya terkelupas. Lapisan demi lapisan identitasnya runtuh. 'Aku adalah Arka si pebisnis', hancur. 'Aku adalah Arka si pengejar target', lenyap. 'Aku adalah Arka yang menyesali kegagalan', bubar. Semuanya hanyalah ilusi.
Ia ketakutan setengah mati, merasa dirinya menghilang, melebur. Di ambang kegilaan, entah dari mana, sebuah desahan putus asa muncul, bukan dari mulutnya, tapi dari inti keberadaannya: "Aku menyerah."
Itu bukanlah penyerahan seorang pecundang, melainkan penyerahan total dari seorang ksatria yang lelah berperang melawan bayangannya sendiri. Penyerahan akan segala kemelekatan terhadap konsep 'diriku', 'rencana hidupku', 'masa depanku', 'masa laluku'. Semua. Seluruhnya. Dilepaskan.
Di tengah kehampaan absolut, sebuah titik kecil cahaya muncul. Sangat kecil, namun nyata. Itu adalah napasnya sendiri. Detik ini. Saat ini. Di sini. Bukan napas yang ia rencanakan, bukan napas yang ia sesali, tapi napas yang sedang terjadi. Arka tiba-tiba merasakan hembusan udara memasuki paru-parunya, memenuhi rongga dadanya, dan kemudian keluar perlahan. Itu adalah keajaiban. Keajaiban paling sederhana, paling purba, namun selama ini ia abaikan.
Ia hidup. Ia bernapas. Ia ada.
Dalam kesadaran yang mencengangkan, Arka tiba-tiba 'melihat'. Ia melihat dirinya selama ini, sebagai seorang hamba yang patuh pada tirani pikirannya sendiri, seorang bayi manja yang digendong oleh perasaannya. Ia bukanlah gelombang pikirannya, yang tak pernah tenang. Ia bukanlah badai perasaannya, yang selalu menghempas. Arka menyadari, ia adalah samudra itu sendiri, yang menampung segala gelombang dan badai, namun tak pernah sedikit pun terguncang dari dasarnya.
Samudra itu, di dasar terdalamnya, selalu tenang, damai, dan tentram. Ia tidak mengejar ombak. Ia tidak menyesali pasang surut. Ia hanya ada.
Seketika, segala kemelekatan itu terasa hambar. Ambisi-ambisi duniawi yang dulu ia genggam erat, kini terasa seperti butiran pasir yang luruh dari celah jemari. Ia bukan lagi Arka si pengejar. Bukan lagi Arka si perenung. Ia adalah Arka, sang saksi. Ia telah melampaui, telah melihat ke belakang tabir, menyadari bahwa ia sejatinya bukan pikiran mau pun perasaannya. Ia adalah kesadaran itu sendiri, yang selama ini tertutupi oleh jubah-jubah ilusi.
Ketika Arka kembali, ia tidak lagi menjadi manusia yang sama. Dunia masih sama, riuhnya masih ada, tuntutan hidup masih membayang. Namun, Arka kini memandang semuanya dengan mata yang berbeda. Ia melihat ibunya, bukan sebagai interupsi, tapi sebagai sumber kasih yang tak terhingga. Ia melihat sahabat-sahabatnya, bukan sebagai pembuang waktu, tapi sebagai cermin kebahagiaan sejati. Ia melihat pekerjaannya, bukan sebagai arena pertempuran, melainkan sebagai ladang pengabdian.
Bersyukur. Kata itu dulu hanya kiasan kosong, kini menjadi denyut nadinya. Bersyukur atas napas yang mengalir, atas detak jantung yang berirama, atas keberadaan dirinya di momen ini. Bukan konsep tentang Arka, bukan tentang nama Arka, bukan tentang pikiran Arka, bukan tentang perasaan Arka. Tapi hanya ada.
Di mata orang lain, Arka mungkin terlihat 'melambat'. Tidak lagi seagresif dulu, tidak lagi seambisius dulu. Beberapa mungkin menganggapnya 'kalah' atau 'kehilangan semangat'. Tapi bagi Arka, ia justru telah memenangkan perang terhebat, perang melawan dirinya sendiri, perang melawan ilusi yang diciptakan oleh pikirannya.
Ia tidak lagi mengejar apa pun. Ia hanya ada, seutuhnya, kini, di sini dan saat ini. Dan dalam keberadaan itu, ia menemukan ketenangan, kedamaian, dan ketenteraman yang selama ini ia kejar di masa depan, atau ia sesali di masa lalu. Ia telah menemukan kunci yang selama ini tersimpan, tersembunyi di balik riuhnya ruang dan waktu yang ia lintasi: kesadaran akan momen kini, dan syukur atas hidup itu sendiri.
***
karya: asai, 2025