anaksenja.com – “Karya anak bangsa” biasanya jadi jimat andalan promosi. Namun, yang namanya karya (film) tetaplah membutuhkan naskah yang rapih, penyutradaraan yang tegas, dan audio yang waras. “Merah Putih: One for All” datang dengan misi mulia: semangat kemerdekaan, persatuan, dan kepedulian lingkungan. Di layar lebar, misinya tersesat (secara harfiah) di tengah hutan yang seolah tak berujung. Hasilnya, tontonan yang berniat menyatukan malah membuat penonton kompak mengernyit.
Sinopsis Film Merah Putih: One for All
Menjelang 17 Agustus, bendera desa raib. Delapan bocah dijuluki “Tim Merdeka” diminta Pak Lurah mencari ke hutan. Di sisi lain, ada gerombolan pemburu burung eksotis yang dapat tawaran Rp100 juta dari seorang bule (yang suaranya terasa seperti text-to-speech).
Perjalanan Tim Merdeka adalah rangkaian keliling hutan → nyasar → berdebat → “bersatu kembali”. Mereka bertemu monyet, ular, domba ngamuk, hingga sebuah kuil Buddha terbengkalai yang konon punya bendera cadangan.
Bendera akhirnya disandera para villain: “Kembalikan dengan menangkap macaw atau bayar 100 juta.” Solusinya? Menyeruduk komplotan itu dengan bantuan domba. Bendera kembali, upacara jalan, lalu—plot twist—salah satu villain ternyata anak Pak Hansip yang dari tadi merekam bocah-bocah ini dari kejauhan. Pertanyaan retoris: kalau di desa ada banyak bendera cadangan, kenapa harus bendera yang itu?
- Durasi: kira-kira ±1 jam (berdasarkan kesaksian penonton).
- Klasifikasi: drama petualangan animasi anak—dengan bumbu slapstick toilet humor yang… panjang.
Kualitas Penulisan Film Merah Putih: One for All
Film punya bahan menarik, yakni patriotisme, ekologi, kerja sama. Namun konflik utamanya terasa rendah taruhannya. Kenapa bendera yang itu harus diselamatkan, bukan bendera lain? Kenapa 100 juta jadi tebusan bendera, bukan anak burung atau alat bukti untuk melapor?
Dialog berputar pada ulang-ulang “gimana dong” dan rapat darurat yang tak menambah makna. Tema “bersatu” dilafalkan berkali-kali, bukan diwujudkan lewat aksi yang berkembang.
Penyutradaraan & Sinematografi Film Merah Putih: One for All
Banyak dialog digarap model headshot menghadap kamera—ala NPC game yang ganti-gantian bicara. Cut kerap terlalu cepat, beberapa transisi terasa “perfectly cut” hingga dialog belum tuntas.
Di aksi, terlihat pengulangan animasi (loop) dan framerate menurun untuk memberi kesan slow motion. Ada pula clipping karakter dengan aset latar, detail kecil yang mestinya tersaring quality control.
Tata Suara & Musik Film Merah Putih: One for All
Sound mixing jadi biang pusing, karena BGM/SFX kerap mendominasi dialog, voice acting naik-turun energinya, dan (yang paling terasa) satu lagu montase diputar berulang kali selama eksplorasi hutan.
Kehadiran suara bule yang terdengar seperti TTS membuat momen yang harusnya dramatis jadi tanggung. Di studio, efeknya jelas: telinga lelah, konsentrasi buyar.
Hal yang (Masih) Bisa Dihargai
- Niat mengangkat semangat 17 Agustus dan isu lingkungan.
- Upaya mengisi slot animasi lokal di layar lebar (ini penting untuk ekosistem).
- Hewan-hewan yang potensial jadi jembatan humor (seandainya jika eksekusinya lebih rapi).
- Motivasi & taruhan cerita: buat jelas dan relevan.
- Dialog: kurangi repetisi; tunjukkan, jangan sekadar katakan.
- Blocking kamera & ritme editing: jangan potong dialog sebelum waktunya.
- QC animasi: perbaiki clipping, loop kasar, dan framerate drop.
- Sound mixing: dialog harus jelas, BGM/SFX harus menunjang, bukan menelan.
- Humor: hati-hati dengan toilet humor yang terlalu panjang dan tidak kontekstual.
- Script doctor: rapikan motivasi, taruhan, dan progres karakter.
- Story reel ketat: uji ritme sebelum final; kurangi montase repetitif.
- Supervisi audio: standar dialog intelligibility dan dynamic range yang sehat.
- QC visual: perketat lintas departemen agar clipping dan loop kasar tak lolos.
- Humor: utamakan karakter-driven humor ketimbang gimik toilet yang berlarut.
Hal yang Perlu Banyak Diperbaiki
Verdict: Salut Pada Niat, Kecewa Pada Hasil
“Merah Putih: One for All” ingin merayakan persatuan dan cinta alam, tetapi tersandung pada penulisan, penyutradaraan, dan audio. Kalau kamu penasaran, tunggu rilis di platform resmi dan tonton cuplikan dulu. Untuk tiket bioskop, mungkin lebih bijak menyimpan dukunganmu ke film lokal lain yang lebih matang eksekusinya, agar “karya anak bangsa” bukan sekadar slogan, melainkan standar kualitas.
Skor film: ★☆☆☆☆ (2/5)
FAQ
Apakah film Merah Putih: One for All cocok untuk anak-anak?
Secara tema iya, namun ada toilet humor yang panjang dan sound yang bising, orang tua harus tetap membimbing anaknya.
Apa pesan moral film Merah Putih: One for All?
Persatuan dan menjaga alam. Sayang, penyampaiannya lebih banyak diceramahkan ketimbang diperlihatkan lewat konflik yang kuat.
Kenapa banyak yang mengkritik audionya?
BGM/SFX sering menenggelamkan dialog; voice acting tidak konsisten; penggunaan suara mirip TTS mengurangi imersi.
Apakah film Merah Putih: One for All layak tonton di bioskop?
Jika kamu mendukung animasi lokal apa pun kondisinya, silakan. Namun, jika kamu mencari cerita solid dan teknis rapi, kemungkinan besar kamu akan kecewa.
Saran untuk Filmmaker
Sumber dan Alasan
Review ini mimin buat pada tanggal 14 Agustus 2025, hari pertama film Merah Putih: One for All rilis resmi di bioskop Indonesia.
Jujur, mimin sebenarnya enggak nonton secara langsung di bioskop, karena ada beberapa alasan yang menahan diri untuk turut menyukseskan film ini, seperti isu aset desain karakter dan background latar yang diperoleh dari internet (malah katanya desainernya tidak mendapatkan bayaran, apakah didapat secara ilegal?), kualitas audio di trailernya sangat "wah", grafis yang bisa dibilang "sangat jauh" jika dibandingkan dengan film Jumbo, anggaran pembuatan film yang melambung tinggi seperti pajak, dan lain sebagainya.
Maka dari itu, mimin melakukan riset di berbagai sosial media, seperti Facebook, Instagram, Tiktok, Youtube, dsb. Ada seorang pengguna bernama "En Qi" yang mengulas film Merah Putih setelah menonton filmnya secara langsung di bioskop, reviewnya sangat detail dan menarik (ini alasan utama mimin membuat artikel ini). Ada lagi user Instagram @omarojii, yang reviewnya kelewatan jujur, katanya film ini mengingatkannya pada "mimpi pas lagi demam". Selain itu opini-opini dan sudut pandang mengesankan dari beberapa user Fesnuk yang gak bisa mimin sebutin satu persatu. Semua itu mimin rangkum dan lahirlah artikel singkat ini.
Semoga artikel ini bermanfaat bagi para penonton maupun produser film animasi Indonesia kedepannya, supaya hal ini dapat dijadikan pembelajaran dan kesuksesan di masa yang akan datang.
Oh iya, kalau menurutmu gimana? Film ini layak didukung atau enggak? Tulis pendapatmu di kolom komentar. Pasti mimin baca satu persatu. :)