Tumpah Amarah di Bulan Bersejarah: Cerpen Demo Agustus 2025

Cerpen tentang sepenggal kisah naas yang terjadi di Agustus 2025, tentang kemerdekaan yang tidak merdeka, dan tentang rakyat yang sadar siapa dirinya.

Gambar ilustrasi demo agustus 2025 mobil brimop di tengah kerumunan demonstran

Agustus 2025. Seharusnya bulan ini berbau harum melati, riuh tawa kebahagiaan ditengah-tengah pekikan "MERDEKA!", dan penuh kibaran gagah sang merah putih di setiap sudut negeri. Namun di tahun yang ke-80 ini, di jantung Ibu Pertiwi, Agustus beraroma asap kimia, bensin terbakar, dan keringat yang menguap dari jutaan urat nadi. Agustus kali ini adalah anomali, sebuah ironi berdarah di tengah perayaan kemerdekaan yang terasa hambar. Sebab di jalanan, gema "Merdeka!" bukan lagi tempik sukacita, melainkan jeritan gugatan yang lahir dari penderitaan.

Siang hari, langit Jakarta sudah diliputi awan tebal. Bukan mendung pertanda hujan, melainkan kabut kemarahan yang dipendam, tebal dan pekat, menunggu pemicu untuk meledak. Jalanan protokol yang biasanya gemuruh klakson, kini dipenuhi riak manusia. Ribuan kepala, jutaan nyawa, berhimpun di bawah panji kemarahan yang telah lama terpendam. Spanduk-spanduk lusuh berkibar, bertuliskan kalimat-kalimat telanjang: "SAHKAN UU PERAMPASAN ASET!!!", "KE MANA PERGINYA JANJI LAPANGAN KERJA?!", "DEWAN TERHORMAT YANG TAK TERHORMAT!"

Satu tahun berlalu, sejak panggung debat Pilpres megah itu membius mata dan telinga. Di sana, seorang calon pemimpin dengan suara lantang pernah mengumbar janji, "Jutaan lapangan kerja akan kami buka! Negeri ini akan sejahtera!" Sebuah orkestra retorika yang meninabobokan para pecandu kerja. Namun kenyataannya? Lapangan pekerjaan itu bagai fatamorgana di gurun Sahara. Ada, tapi tak pernah bisa digapai. Ribuan sarjana masih menganggur, berjajar rapi dalam daftar antrean pengangguran. Generasi muda kehilangan arah, semangat mereka dicabik oleh realita. Jangankan jutaan, seribu saja sudah syukur. Para pembantu rakyat itu bergeming, sibuk dengan dunianya sendiri.

Dan pajak. Ah, pajak. Ini adalah pisau bermata dua yang diasah tajam oleh tangan-tangan tak tahu diri. Segala rupa dipajaki. Udara, air, tanah, bahkan mungkin detak jantung. Di saat perut rakyat diisi angin dan janji busuk, gaji dan tunjangan para anggota Dewan yang Terhormat justru melambung tinggi, menembus stratosfer. Konon, penghasilan bulanan mereka sudah bisa membeli separuh dari kebun petani di pelosok desa.

"Gaji tiga juta sehari? Itu bagi mereka bukan apa-apa! Padahal bagi kami, tiga juta itu gaji sebulan, bahkan mungkin dua bulan kalau di daerah yang UMR-nya kecil! Mereka pikir kami babu budak?" teriak seorang buruh, urat lehernya menegang, suaranya parau menahan sesak. Ingatannya melayang pada pernyataan anggota dewan yang pernah terlontar entah dari bibir mana: "Memang dikira gaji tiga juta sehari itu besar?". Sebuah tamparan telanjang yang mendarat tepat di muka rakyat jelata. Sebuah narasi yang dengan angkuh menohok, seolah mengingatkan bahwa penderitaan kami hanyalah debu di bawah kuku kaki mereka.

Kemarahan kian mengental kala ingatan berputar pada sosok dewan yang pernah menohok rakyat dengan sebutan "tolol" ketika ada ide agar DPR dibubarkan karena dianggap tidak berguna. Atau ketika seorang pejabat—yang digaji dari tetesan keringat rakyat—justru menyalahkan platform media sosial TikTok, menudingnya sebagai sarana penyebar kebencian, ketimbang berkaca pada diri sendiri: mengapa rakyat membenci? Bukankah itu buah dari kebusukan yang mereka tanam?

"Mereka itu sebenarnya takut! Takut jika kami sadar bahwa mereka hanyalah pembantu, budak yang digaji dari keringat kami!" teriak seorang mahasiswa yang berdiri di atas mobil komando. "Mereka itu penakut! Lebih nyaman sembunyi di balik kekuasaan semu, ketimbang menghadapi majikan aslinya!"

Gema sorakan massa memecah udara panas. Ada rasa jijik, kecewa dan amarah yang saling berjalin. Pejabat yang seharusnya berdiri tegak melayani, kini tak ubahnya bangkai tikus berdasi, bersembunyi di balik kekuasaan semu, membusuk dari dalam, namun terus mengklaim diri sebagai pembawa kemaslahatan. Mereka adalah serigala berbulu domba yang haus darah, dan domba-domba itu adalah kami, rakyat.

Tiba-tiba, suara sirene meraung, membelah kerumunan. Terdengar sebuah intruksi gelap, dari radio portabel nirkabel di dalam mobil: "Tabrak aja!". Sebuah mobil Brimob berwarna gelap, berpacu liar. Massa sedikit tersentak, memberi jalan karena takut tertabrak. Namun, salah satu dari mereka yang berjaket hijau, salah satu anggota ojol ternama, tersandung kakinya sendiri ketika berusaha menghindar. Entah mengapa, ia seolah-olah menjadi target. Jerit ngeri terdengar. Mobil itu menabrak. Bukan hanya sekadar benturan. Roda depannya menindas tubuh jaket ojol itu. Sesaat mobil berhenti. Seisi jalanan mengingatkan dengan teriakan peduli. Namun, di luar dugaan, suara mesin menderu. Sang pengemudi Brimob menginjak gas, memajukan mobilnya lagi, melindas tubuh itu hingga tergencet tak berbentuk. Sekali lagi. Lalu sekali lagi.

Bau amis darah menusuk hidung. Jerit histeris berganti raungan amarah yang lebih mengerikan dari gemuruh topan. Tubuh pengemudi ojol itu terkapar, jaket hijaunya basah oleh merah yang pekat, kontras dengan aspal jalanan. Nafasnya terhembus bersama jiwanya yang malang, menjadi korban kebiadaban yang tak termaafkan.

"Bu*nuh mereka! BU*NUH!"

Teriakan itu melengking, membakar seisi jalanan. Rasa sakit dan duka sontak berubah menjadi kobaran api. Kericuhan tak terhindarkan. Massa yang tadi masih berusaha menjaga ketertiban, kini meluapkan segala emosi yang tertahan. Batu melayang, botol pecah. Aparat keamanan yang telah siaga dengan tameng dan pentungan, segera merangsek maju.

"Di mana mereka?! Di mana para DPR ba*jingan itu?! Kenapa kalian yang maju, bukan mereka?!" teriak seorang ibu, matanya nanar. Ironi yang menyakitkan. Rakyat diadu dengan aparatnya sendiri. Saudara sebangsa saling berhadapan, sementara mereka, para pejabat yang digaji rakyat, bersembunyi entah di mana. Mungkin di rumah-rumah mewah mereka, dengan pendingin ruangan yang membekukan nuraninya, asyik memilih film terbaru di beranda Netflix, atau tertawa-tawa sembari menyecroll vidio tarian pemerbodoh bangsa di TikTok. Mungkin ada juga yang sedang berlibur ke luar negeri, menghamburkan uang rakyat hasil jarahan. Seperti serdadu culas yang melempar anak buahnya ke medan perang, sementara ia sendiri bersantap anggur dan daging babi di balik garis aman.

Pertumpahan darah pun tak terhindarkan. Bentrokan pecah di banyak titik, tak hanya di Ibu Kota. Di Makassar, Bandung, Magelang, Yogyakarta, laporan-laporan berdatangan. Korban berjatuhan. Baik aparat maupun demonstran terluka, terkapar. Beberapa meregang nyawa, memeluk aspal panas dengan cita-cita kemerdekaan yang belum terwujud. Malam itu, Agustus menangis darah.

Berbeda dengan demo-demo sebelumnya, wartawan yang meliput tak seramai dulu. Kamera-kamera yang biasanya agresif menangkap setiap momen, kini terkesan enggan. Berita-berita yang muncul di media massa pun terasa hambar, seperti air cucian yang sudah tercampur lumpur, kehilangan esensinya. Ada tangan tak terlihat yang membungkam, menutup mata, menutup telinga. Mereka adalah dalang di balik tirai, yang sangat ketakutan. Ketakutan akan kesadaran rakyat, ketakutan jika domba-domba itu menyadari kekuatan aslinya, bahwa gembala yang mereka ikuti selama ini hanyalah anjing penjaga yang setia kepada majikan yang salah.

Di bawah langit Agustus yang mendung, narasi kemerdekaan yang sesungguhnya tak pernah usai. Ia tak diucapkan dari mimbar megah, melainkan dari sisa-sisa darah yang mengering di aspal, dari mata-mata nanar yang tak lagi takut, dan dari jiwa-jiwa yang kian mengerti. Para lintah darat berdasi, para koruptor busuk, mereka boleh bersembunyi. Tapi aroma busuk pengkhianatan itu akan terus tercium. Karena kebenaran, seperti bangkai yang ditutup-tutupi, cepat atau lambat akan tercium jua, memaksa setiap hati untuk tahu bahwa kemerdekaan sejati masih harus diperjuangkan. Ini bukan lagi soal politik atau partai, ini soal martabat manusia yang diinjak-injak, soal api amarah yang tak akan pernah padam, selama kebusukan terus meraja.

***

karya: asai, 2025

Posting Komentar