Rumah kecil di sudut gang itu selalu dipenuhi satu suara, suara Maya. Ia adalah sang primadona monolog, penata orkestra keluhan yang tak pernah berhenti menyuarakan isi pikirannya. Suaranya adalah melodi pagi, simfoni siang, dan nina bobo malam bagi Bima, suaminya. Gema itu memantul di dinding-dinding yang catnya mulai mengelupas, menembus setiap pori, dan menyelinap ke dalam jiwa Bima yang menjelma menjadi samudra kesabaran tak berbatas.
"Bima, Bima! Gaji segini saja? Mau makan apa kita bulan ini? Jangankan beli kosmetik, bayar cicilan kutang saja tidak cukup!" Suara Maya berdecit, tajam.
Bima hanya mengangguk, sorot matanya yang legam, seperti sumur yang dalam, menyerap setiap kata tanpa membalas. Ia tahu, di balik setiap keluhan, ada kebutuhan yang terucap, tentang harapan yang membentang luas melebihi lebar dompetnya.
Bima adalah bayangan yang setia. Pagi, sebelum fajar menyapa, motor Supra X bututnya sudah mengaum, membelah dinginnya kota. Bukan demi mengejar mimpi, melainkan demi menambal lubang-lubang anggaran yang terus menganga. Kadang, ia mengambil lembur demi mendapatkan tambahan. Tangannya kasar, akibat kebiasaan menggergaji kayu, memanggul semen, apa saja yang bisa menghasilkan lembar rupiah tambahan. Tapi setiap ia pulang larut, lelah meraja, keluhan lain menanti di bibir pintu.
"Pulang malam begini? Dari mana saja? Jangan-jangan punya simpanan, ya? Atau foya-foya sama teman-temanmu itu? Uang lembur itu bukan buat jajan!" tuding Maya, dengan mata menyala.
Bima hanya tersenyum tipis, senyum yang sama saat ia dimarahi bos di pabrik karena target tak tercapai. Bagaimana bisa ia berfoya-foya, jika uang lembur itu sudah ia bayangkan akan berganti bedak mahal, lipstik keluaran terbaru, atau paket internet super cepat untuk Maya? Tak terbersit di benak Maya, Bima bahkan seringkali melewatkan makan siang, hanya demi menghemat Rp 10.000,-, yang bisa ia alihkan untuk pulsa darurat anaknya.
Sore menjelang. Bima, pulang dari medan juang yang melelahkan. Ia jatuhkan tubuh setengah remuk itu di pangkuan sofa. Matanya terpejam sejenak, berharap mencuri sepotong kedamaian. Namun, hanya jelang beberapa saat suara itu kembali datang, seperti sirene tanda bahaya.
"Apa-apaan tidur siang begini? Memangnya di rumah ini tidak ada pekerjaan? Enak saja, suami orang sibuk bekerja, kamu malah leyeh-leyeh!" omel Maya, suaranya naik satu oktaf.
Ia tidak melihat peluh yang mengering di kemeja lusuh Bima, tidak merasakan denyutan di sekujur tubuhnya, atau luka lecet yang samar di sekitar jari. Yang ia lihat hanyalah seorang pria malas yang berani-beraninya beristirahat. Bima bangkit, tanpa kata, tanpa protes, dan mengambil sapu. Rumah harus bersih, walau batinnya terasa sesak. Ia seperti kuli di ladang sendiri, tanpa upah, hanya sisa lelah.
Penampilan Bima adalah topik lain yang tak pernah luput dari sasaran tembak Maya. Kulitnya hitam legam, hasil paparan matahari dan debu jalanan. Rambut keritingnya tak pernah sempat rapi, kadang ada bewok dan kumis yang tumbuh liar di wajahnya. Pakaiannya? Hanya kemeja kotak-kotak lusuh dan celana jins yang sudah memudar warnanya. Tanpa mobil kinclong, hanya motor Supra X berbatok getar yang setia mengantarnya mengarungi hidup.
"Lihat tuh suami teman-temanku, pakai mobil bagus, rambutnya rapi klimis, bajunya keren-keren. Kamu? Sudah hitam, keriting berantakan, dekil pula! Malu aku ajak kondangan, malu!" cerca Maya, saat mereka menghadiri pesta pernikahan kerabat.
Bima tersenyum tipis lagi, senyum pahit yang menyembunyikan ribuan pedih. Ia tak pernah peduli penampilannya sendiri. Uang untuk potong rambut yang rapi, untuk krim wajah agar kulit tidak terlalu kusam, atau untuk pakaian baru agar terlihat "keren", ia alihkan semuanya untuk Maya dan anaknya. Untuk kosmetik Maya yang berjajar rapi di meja rias, untuk baju baru Maya yang selalu mengikuti tren, untuk kuota internet yang unlimited agar Maya bisa terus berselancar di dunia maya. Motor Supra X yang selalu terawat itu, yang oleh Maya selalu dicibir, adalah saksi bisu setiap liter bensin yang ia irit, setiap makan yang ia lewatkan, demi menyeimbangkan neraca pengeluaran.
Bima adalah pohon tua di tengah padang pasir. Akarnya menancap dalam, menahan segala terpaan badai keluhan. Daunnya kering, rantingnya gersang, namun ia tetap berdiri tegak, tak pernah mengeluh, bahkan saat ia tahu batangnya perlahan mengering. Kesabarannya bukan pasrah, melainkan perlawanan sunyi terhadap absurditas hidup. Ia percaya, bahwa dalam diam, ada kekuatan yang tak terlihat. Ia memilih menjadi pelita yang rela melebur, agar cahaya tetap menyinari keluarganya.
Suatu malam, Bima pulang seperti biasa. Langit gelap pekat, seolah ikut menanggung beban tak kasat mata di punggungnya. Ia merangkak masuk kamar, tanpa suara. Hari itu, ia bekerja lebih dari 15 jam, memanggul beban ganda di pabrik. Tubuhnya terasa remuk, namun pikirannya melayang pada tagihan sekolah anak dan cicilan perhiasan yang diinginkan Maya. Ia mencoba memejamkan mata, namun napasnya terasa sesak. Seperti ada kepalan tangan tak terlihat yang meremas jantungnya. Dingin menjalar, memeluk erat tubuhnya. Ia merasakan kehangatan samar, mungkin dari selimut yang ditarik Maya tanpa sengaja dalam tidurnya. Atau mungkin, kehangatan terakhir dari api yang menyala di dalam dirinya, api yang perlahan padam.
Keesokan paginya, Maya terbangun dengan senyum. Sebuah mimpi indah. Ia melihat Bima masih terlelap. "Dasar pemalas!" gumamnya, tanpa berbalik. Ia segera bergegas menuju kamar mandi, lalu sibuk dengan rutinitas kecantikannya. Ia melihat wajahnya di cermin, mencoba berbagai kosmetik baru.
"Akhirnya ada waktu luang untuk diriku," pikirnya, bahagia. Ia sama sekali tidak menyadari hening yang merayapi kamar. Ia sama sekali tidak melihat warna kebiruan samar di bibir Bima, atau napas yang tak lagi terangkat dari dadanya. Ia tidak tahu bahwa selimut yang ia rasakan semalam ditarik tanpa sengaja itu, sebenarnya adalah Bima yang terhuyung, mencoba meraih sesuatu di samping tempat tidur. Sebuah botol kecil. Vitamin. Yang sudah habis. Sudah lama sekali. Karena uangnya selalu ia alihkan.
Maya berdandan rapi. Ia keluar kamar, ingin membangunkan Bima agar segera berangkat kerja. Namun, hening itu begitu pekat. Ia mendekat, menyentuh bahu Bima. Dingin. Kaku. Sekujur tubuhnya beku. Wajah Bima, yang selalu tampak lelah, kini tenang. Teramat tenang, seolah telah menemukan kedamaian abadi. Senyum tipis yang selalu menjadi perisainya, kini terukir nyata, untuk yang terakhir kalinya.
Tangis Maya pecah, nyaring memecah pagi. Namun itu adalah tangis kehilangan sosok yang selalu ada, sosok yang selalu dikeluhkan, namun tak pernah disyukuri kehadirannya secara utuh. Ia tak pernah menyadari, bahwa di balik setiap keluhan, di balik setiap cibiran, ada sebuah jiwa yang perlahan tergerus, ada sebuah sumbu yang terbakar habis demi menerangi dunianya yang egois. Ia tak pernah tahu, bahwa racun paling mematikan bukanlah zat kimia, melainkan racun yang menyelinap dalam bisikan ketidakpuasan, mengikis vitalitas, dan pada akhirnya, mengambil nyawa secara perlahan.
Di atas meja samping tempat tidur, selembar kertas lusuh tergeletak. Diambilnya dengan tangan gemetar. Tulisan tangan Bima, rapi, tenang.
“Maya, anakku… Maafkan Ayah tak bisa beri lebih. Semua untuk kalian. Semoga kalian selalu bahagia. Aku cinta kalian.”
Maya tak sanggup membaca lebih jauh. Kata-kata itu menusuk, merobek lapisan-lapisan keluhan yang selama ini membungkus hatinya. Di sampingnya, ponsel Bima tergeletak. Sebuah pesan dari teman lamanya tertera di layar. Pesan yang tak sempat dibalas Bima, sebelum malam meregut napasnya.
“Bro, jangan terlalu paksakan diri. Kesehatan lebih penting. Ingat, kau sudah lama batuk dan demam. Cek ke dokter sana.”
Maya menatap kosong. Kesehatan. Suaminya yang hitam, berambut keriting, dan kumal itu, tak pernah ia hiraukan kesehatannya sendiri. Setiap kali Bima mengeluh batuk, ia hanya menukas, "Mungkin kamu kurang minum air putih. Dasar cengeng!" Setiap kali Bima terlihat lelah, ia menganggapnya malas. Ia tak pernah tahu, bahwa Bima sering berlama-lama di kamar mandi, hanya untuk mengeluarkan dahak berdarah. Ia tak pernah tahu, bahwa di balik senyum lelah itu, Bima menyimpan pertempuran sunyi dengan tubuhnya sendiri yang kian rapuh. Ia telah mati, bukan karena racun nyata, melainkan karena racun tak kasat mata dari ketidakpahaman, ketidaksyukuran, dan tuntutan tak berkesudahan yang terus ia hirup. Dan kini, ia hanya tinggal sendiri, bersama gema keluhan yang dulu ia nyanyikan, berbalik menjadi kidung pilu penyesalan.
***
karya: asai, 2025