Cerpen - Boneka Berdasi

Sebuah cerpen yang menguak rahasia penderitaan dibalik jas mahal pejabat
Gambar boneka yang terpasung, terancam dengan berbagai alat

Aku adalah salah satu dari sekumpulan makhluk berdasi, berotak licin, dan berlidah cerdas yang duduk di gedung mewah itu. Orang-orang memanggilku "Yang Terhormat". Mereka menatapku dengan kagum, terpukau oleh kilauan sepatu yang setiap pagi disemir pembantuku, sorot mobil mewah yang membelah jalan, dan janji-janji manis yang kutumpahkan dari podium, seolah surga akan terbentang esok hari.

Mulutku piawai merangkai kata. Aku bicara tentang kedaulatan rakyat, tentang kesejahteraan, tentang masa depan yang gemilang. Intonasiku tegas, sorot mataku penuh visi. Kata korupsi sering kusebut, bahkan dengan nada geram, seolah aku adalah sang jagoan pembasminya. Mereka percaya. Kalian, di luar sana, begitu saja percaya saat aku mati-matian mencerca pihak yang tak bertanggung jawab, padahal justru aku sendiri biang keladinya. Sungguh, ironi itu lebih pahit dari empedu.

Kalian mungkin melihatku sebagai puncak pencapaian. Rumahku megah, anak-anakku sekolah di luar negeri, badan istriku penuh digelantungi emas dan barang mewah. Sebuah potret sempurna dari kebahagiaan paripurna, bukan? Ah, jika saja kalian tahu. Jika saja kalian mampu melihat lebih dalam dari cermin fatamorgana ini.

Aku ini, sejatinya bukanlah Yang Terhormat. Aku hanyalah sebuah boneka, atau seekor lintah darat kelas teri, atau juga sebuah gumpalan daging yang dikendalikan oleh tali-tali tak kasat mata. Aku adalah peliharaan. Ya, kalian tidak salah dengar. Aku adalah peliharaan kesayangan dari tuanku, para gembong di atas sana, yang ketika melihat bayangannya saja sudah cukup membuatku menggigil.

Hidupku ini drama panjang yang melelahkan. Setiap hari, aku berperan sebagai aktor utama. Senyumku adalah topeng, kata-kataku adalah skrip. Otakku, yang dulu bebas berpikir, kini hanyalah komputer kecil yang memproses perintah. Tuanku punya cara-cara yang rapi, bersih, namun mematikan. Mereka tak pernah menunjuk langsung. Mereka tak pernah berteriak. Tapi bisikan mereka, melalui atasan-atasanku, adalah titah yang tak boleh dibantah. Titah yang bahkan tak memerlukan pengulangan.

Aku ingat sekali, bagaimana mulanya aku dipaksa menjadi bagian dari panggung sandiwara ini. Awalnya sebuah perkenalan yang halus, lalu sebuah kesempatan emas, hingga akhirnya berujung dengan jebakan. Sebuah proyek pengadaan barang fiktif—kalian tahu, alat kesehatan yang seharusnya membantu rakyat, justru jadi ATM pribadi. Markup harga gila-gilaan. Harga asli seratus ribu, laporan ke publik seratus juta. Sisanya? Menguap ke saku-saku tikus berbulu domba. Aku disuruh membubuhkan tanda tangan. Awalnya ragu, tanganku gemetar. Tapi pandangan dingin atasanku, ditambah sebuah hadiah yang tak bisa kutolak—sebuah kemewahan yang tak pernah kudapatkan dalam hidupku yang bersih—cukup membuat akalku beku. Sejak itu, aku tahu, tidak ada jalan kembali.

Kemudian, datanglah proyek infrastruktur, megah di atas kertas, cacat di lapangan. Tiang-tiang pancang rapuh, jalanan baru berumur setahun sudah retak sana-sini. Uang rakyat digelontorkan seperti air bah, mengalir deras ke kantong-kantong ba*jingan berpendidikan. Anggaran palsu, laporan keuangan manipulatif—aku ikut merancang detailnya, merangkai setiap angka demi lolos pemeriksaan. Membuat item fiktif, menambah pos pengeluaran tak kasat mata. Tubuhku memang duduk nyaman di kursi hidrolik mahal, tapi batinku meraung. Aku ini tak ubahnya sekrup kecil dalam mesin pencetak uang haram raksasa.

Mereka selalu punya argumen. "Ini demi keamanan bersama." "Semua orang melakukannya, kamu jangan sok suci." "Daripada kamu jadi target, lebih baik kamu ikut kami." Ancaman itu selalu melingkar di leherku seperti tali anjing. Jika aku berani buka suara, jika aku berani jujur, mereka akan menyeretku, menguak aib-aibku, membalikkan fakta seolah aku adalah biang keladinya. Karierku akan hancur, keluargaku akan jadi sasaran teror. Aku tahu beberapa 'rekan' yang mencoba menentang, mereka lenyap begitu saja, tanpa jejak, tanpa kabar. Hilang ditelan bumi. Atau tiba-tiba muncul di media sebagai tersangka tunggal sebuah kasus yang bahkan aku sendiri tidak tahu ujung pangkalnya. Sebuah 'penjagaan' yang sebenarnya adalah sebuah jeruji besi yang tak terlihat.

Aku tidak tahu siapa raja tertinggiku. Atasanku hanya mengenal atasannya, yang kemudian mengenal atasannya lagi. Sebuah rantai yang begitu panjang, tertutup rapat. Mereka berbicara dengan kode-kode, dengan kiasan-kiasan aneh. Seolah ada dinding tebal di atas sana yang tak boleh ditembus pandang. Aku ini hanya ikan teri yang disuruh berenang di lautan penuh hiu, tapi hiu itu punya raja yang tak terlihat. Semakin tinggi rantainya, semakin misterius, semakin gelap. Dan semakin besar pula kerakusan mereka, layaknya belatung-belatung gemuk yang membusuk di daging bangkai uang rakyat.

Malam-malamku adalah penjara. Gedung parlemen yang gagah di siang hari, berubah jadi lorong-lorong hantu. Aku duduk di balik meja, membaca dokumen-dokumen berbau dusta. Napas pengap kantor dan aroma kopi pahit menjadi teman setia. Aku sering menatap wajahku di cermin mewah toilet kantor, melihat garis-garis lelah yang kian dalam. Topeng ini semakin berat, dan aku, di baliknya, semakin hancur.

Kalian mungkin melihatku mengemudi mobil mahal, memakai jam tangan berkilauan. Kalian mungkin mendengar pidatoku yang berapi-api. Tapi kalian tak mendengar bisikan ketakutan yang menggerogoti jiwaku. Aku tak bebas. Aku tak berdaulat. Setiap kemewahan ini adalah rantai yang membelengguku. Setiap pujian adalah cambuk yang melecutku lebih dalam ke lumpur dosa.

Inilah hidupku, si boneka berdasi. Terjebak dalam sangkar emas, menopang punggung para bedebah, dan menjadi saksi bisu, bahkan pelaku, atas kebusukan yang tak pernah berakhir. Aku adalah cerminan dari sebuah sistem, yang bahkan jika satu bagian busuk dilepas, bagian lain akan tumbuh menggantikannya, busuk yang sama, wajah yang berbeda. Dan aku, di tengah semua ini, hanya bisa berharap... entah apa. Mungkin berharap kegelapan akan menelanku sepenuhnya, agar panggung sandiwara ini berakhir, dan aku tak perlu lagi berpura-pura menjadi 'Yang Terhormat'. Karena sungguh, Yang Terhormat itu adalah penderitaan yang tak ada habisnya.

***

karya: asai, 2025

Posting Komentar